Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Disleksia: Spectrum Tantangan yang Kompleks

19 Oktober 2024   11:18 Diperbarui: 19 Oktober 2024   11:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disleksia bukan hanya tentang kesulitan membaca atau menulis, tetapi jauh lebih luas dari itu. Ini adalah spektrum tantangan yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang. Saya sering kali merasa disleksia lebih seperti kumpulan puzzle yang tersebar, yang butuh dirangkai secara perlahan untuk membentuk gambaran diri yang utuh. Dalam perjalanan saya, setiap tantangan yang dihadapi adalah sebuah potongan puzzle ada yang menyakitkan, ada yang membawa pencerahan, tapi semuanya berharga.

Bagi saya, pengalaman disleksia adalah pengalaman hidup yang terus berputar, naik-turun, baik di dalam kelas maupun di luar. Setiap hari adalah perjuangan untuk menemukan "tempat" dalam dunia yang tampaknya tidak dirancang untuk saya. Tapi, meski begitu, dunia ini tetap milik saya juga, hanya dengan cara yang berbeda.

Saat berusia sembilan tahun, saya ingat betul perasaan frustasi yang menghantui setiap kali berusaha membaca. Huruf-huruf di depan saya seakan hidup, menari-nari di halaman buku, seolah mereka tahu saya tidak bisa menangkapnya. Setiap kalimat seperti teka-teki yang terpecah-pecah, tetapi ketika saya berusaha merangkainya, semuanya berantakan lagi. Sekolah terasa seperti 'neraka',tempat di mana saya merasa ditelanjangi oleh ketidakmampuan saya sendiri, dan lebih buruk lagi, oleh ketidakpahaman orang-orang di sekitar saya.

Satu kejadian yang tak terlupakan adalah ketika saya berada di kelas tiga SD. Guru meminta saya membaca di depan kelas. Saya tahu saya tidak akan bisa melakukannya dengan lancar. Saya tahu saya akan kesulitan. Tetapi ketika saya membuka mulut, kata-kata itu tidak mau keluar. Saya terpaku pada halaman, berjuang untuk memahami apa yang tertulis, tetapi huruf-huruf itu terus kabur dan berganti posisi di mata saya. Akhirnya, setelah beberapa menit keheningan yang menyiksa, guru saya berteriak, "Kamu ini bodoh atau apa?!" Semua mata tertuju pada saya, dan saat itu juga, saya merasa kecil, terperangkap, dan tak berdaya. Kata-kata guruku menusuk lebih dalam daripada kesulitan saya sendiri.

Setelah kejadian itu, saya semakin menarik diri. Saya yakin bahwa saya benar-benar 'berbeda,' dalam arti negatif. Rasa malu menekan saya, memupuskan keberanian saya untuk mencoba lagi. Saya merasa dunia menolak untuk memahami, menolak untuk menerima saya.

Namun, di balik setiap kepedihan, selalu ada titik terang. Salah satu momen yang mengubah perspektif saya datang dari sosok yang tak terduga---ayah saya. Dia adalah satu-satunya orang yang, di saat semua orang lain tampaknya menyerah pada saya, tetap percaya. Setiap malam, dia duduk di samping saya dengan buku-buku yang seolah menjadi musuh saya. Dia tidak pernah memaksakan saya untuk membaca dengan cara yang orang lain lakukan. Sebaliknya, dia mencoba pendekatan yang berbeda, yang lebih ramah. Dia tahu saya tidak bisa membaca seperti teman-teman saya, jadi dia menggunakan gambar, cerita lisan, dan percakapan untuk menjelaskan isi buku itu.

Saya masih ingat suatu malam ketika saya menangis karena frustrasi setelah mencoba membaca selama lebih dari satu jam. Ayah saya menghentikan saya dan berkata, "Nak, kamu bukan bodoh. Kamu hanya berbeda, dan itu tidak apa-apa. Kita akan menemukan caramu sendiri untuk memahami dunia." Kata-katanya membekas, mengisi celah dalam hati saya yang sebelumnya tergores oleh label "bodoh." Saya mulai melihat disleksia bukan sebagai kutukan, tetapi sebagai tantangan yang bisa diatasi, asalkan saya mencari jalan yang sesuai dengan kemampuan saya.

Ayah saya mengajarkan saya bahwa keberhasilan tidak selalu berarti mengikuti jejak orang lain. Dia mengajarkan saya untuk menemukan cara saya sendiri, cara yang sesuai dengan otak saya yang, meski sibuk dan penuh warna, tetap berharga dan istimewa.

Ketika saya semakin dewasa, saya menyadari bahwa disleksia bukan hanya memberikan tantangan, tetapi juga memberikan kekuatan. Ada perspektif unik yang datang dengan cara berpikir saya yang berbeda ini. Saat kebanyakan orang melihat dunia melalui lensa yang linear, saya melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas dan beragam. Ketika orang-orang berfokus pada detail-detail kecil, saya bisa melompat dari satu ide ke ide lainnya, menemukan solusi kreatif yang mungkin diabaikan orang lain.

Pernah dalam salah satu perjalanan saya bersama Dyslexia Keliling Nusantara, saya bertemu dengan seorang anak kecil yang memiliki pengalaman serupa. Dia adalah cerminan dari diri saya saat kecil tertekan, merasa dikucilkan karena tidak mampu membaca seperti teman-temannya. Kami duduk bersama, dan saya bercerita tentang pengalaman saya. Saya ingin dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Saya ingin dia tahu bahwa ada jalan keluar, bahwa dunia ini juga miliknya. Melihat kilatan harapan di matanya membuat saya merasa semua kesulitan yang pernah saya alami sepadan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun