Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bodoh Kata Mereka, Berbeda Kataku: Menemukan Kekuatan dalam Disleksia

16 Oktober 2024   11:50 Diperbarui: 16 Oktober 2024   11:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bodoh Kata Mereka, Berbeda Kataku: Menemukan Kekuatan dalam Disleksia

Ada momen-momen dalam hidup ketika label yang diberikan kepada kita begitu kuat, hingga kita mulai percaya bahwa itulah diri kita yang sebenarnya. Salah satu label yang paling menghantui saya selama masa sekolah adalah kata "bodoh." Setiap kali saya gagal memahami materi pelajaran dengan cepat, setiap kali saya salah mengeja kata-kata atau membaca dengan terputus-putus, label itu terpatri lebih dalam. Seringkali, guru-guru, mungkin tanpa mereka sadari, gagal menemukan metode yang tepat untuk menyampaikan pelajaran kepada anak-anak dengan disleksia seperti saya. Mereka menyerah sebelum mencoba memahami, dan saya pun perlahan-lahan menyerah pada diri sendiri.

Saya sering merasa menjadi penonton dalam kelas. Buku-buku yang seharusnya menjadi jendela dunia malah menjadi tembok tinggi yang tak bisa saya panjat. Setiap halaman tampak dipenuhi dengan huruf-huruf yang melompat dan berpindah tempat, menari di depan mata saya seolah menantang saya untuk memahami. Pada saat yang sama, teman-teman sekelas saya dengan mudah mengikuti pelajaran, seolah-olah mereka dilahirkan dengan peta yang saya tidak pernah punya. Semakin saya berusaha memahami, semakin jauh saya tertinggal.

Kehilangan harga diri adalah langkah berikutnya yang tak terhindarkan. Ketika Anda terus-menerus gagal, tidak hanya di mata orang lain tetapi juga di mata diri sendiri, rasa percaya diri yang pernah ada mulai terkikis. Stres, kebingungan, dan tekanan untuk tetap fokus hanya memperburuk disleksia yang saya alami. Saya tidak hanya berjuang dengan huruf-huruf, tetapi juga dengan perasaan ketidakberdayaan yang meresap. Rasanya seperti semakin keras saya berusaha, semakin jauh saya jatuh.

Namun, ironisnya, banyak dari kami yang dianggap "tidak mampu belajar" di masa sekolah, tumbuh menjadi individu yang sangat sukses. Saya mulai memahami bahwa kemampuan saya melihat dunia dengan cara yang unik, berbeda dari orang lain, adalah kekuatan yang tersembunyi di balik kesulitan yang saya hadapi. Dalam seni, teknik, bahkan dalam cara berpikir strategis, saya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang. Saya tidak perlu menjadi pembaca tercepat atau penulis paling sempurna untuk menjadi kreatif atau inovatif. Sayangnya, di masa kecil, kemampuan ini sering tidak terlihat oleh guru dan sistem pendidikan.

Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa perjuangan saya dengan disleksia adalah sesuatu yang akan terus saya hadapi sepanjang hidup. Dunia tidak dirancang untuk orang-orang seperti saya, dan itu bukan salah saya. Meski demikian, saya harus belajar untuk bertahan hidup di dunia yang menuntut kemampuan membaca dan menulis secara konvensional. Nomor telepon yang saya tulis sering kali terbalik. Memo kantor yang sederhana bisa menjadi teka-teki yang saya pecahkan berjam-jam. Saya mulai mengembangkan strategi bertahan, mulai dari meminta bantuan orang lain hingga menggunakan teknologi untuk membantu saya membaca dan menulis. Di balik semua itu, saya menanggung rasa malu dan ketakutan yang terus-menerus. Saya merasa dunia terus-menerus menghakimi saya, padahal apa yang saya alami bukanlah kesalahan saya.

Disleksia bukanlah tanda kerusakan otak, melainkan cara berpikir yang unik. Ini adalah cara berpikir yang bisa menciptakan kejeniusan dalam bidang-bidang yang tidak terduga. Banyak dari kami yang menderita disleksia ternyata unggul dalam seni, arsitektur, dan inovasi. Kami berpikir dengan cara yang intuitif dan nonverbal, sebuah kemampuan yang sering kali disalahartikan sebagai ketidakmampuan dalam membaca dan menulis. Sayangnya, sistem pendidikan kita yang terlalu berfokus pada kemampuan akademik tradisional sering kali mengabaikan kecerdasan ini. Bagi kami, sekolah bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk berjuang agar diakui.

Saya tahu betul bagaimana rasanya berjuang untuk diakui. Ada banyak malam ketika saya merasa dunia tidak adil, bahwa saya dipaksa untuk bermain dalam permainan yang aturannya tidak pernah saya pahami. Rasa frustrasi dan isolasi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari saya. Namun, jauh di dalam diri saya, ada tekad yang tak pernah padam. Saya tahu bahwa kecerdasan saya tidak diukur dari seberapa cepat saya bisa membaca atau seberapa rapi saya bisa menulis. Saya tahu ada sesuatu yang lebih besar dalam diri saya.

Pada suatu titik dalam hidup saya, saya diperiksa oleh seorang psikolog. Saya selalu berpikir bahwa saya "bodoh" karena sulitnya saya membaca dan menulis. Tetapi hasil tes IQ saya menunjukkan angka 138 angka yang jauh dari bodoh. Itu adalah bukti nyata bahwa disleksia tidak pernah menjadi ukuran dari potensi saya. Saya bukan bodoh, saya hanyalah berbeda.

Perjalanan saya tidak berakhir di situ. Saya belajar menerima disleksia sebagai bagian dari diri saya, tetapi saya tidak membiarkan hal itu menghentikan langkah saya. Saya menemukan cara-cara kreatif untuk mengatasi kesulitan yang saya hadapi. Teknologi menjadi sahabat saya, audiobook menggantikan buku teks, dan catatan pribadi menjadi panduan dalam hidup saya. Lebih penting lagi, saya belajar untuk tidak merasa malu. Disleksia tidak mendefinisikan siapa saya atau apa yang bisa saya capai.

Dengan ketekunan dan kerja keras, saya membuktikan bahwa mimpi-mimpi saya tidak dibatasi oleh kekurangan saya. Saya meraih gelar sarjana, lalu melanjutkan ke jenjang master. Kini, saya berdiri di hadapan banyak orang, berbagi kisah saya, menginspirasi para guru dan orang tua di seluruh Nusantara untuk lebih memahami kebutuhan anak-anak dengan kebutuhan khusus. Semua yang saya capai tidak akan mungkin terjadi jika saya hanya fokus pada kelemahan saya.

Pesan saya sederhana, setiap orang memiliki kecerdasan dan bakat yang unik. Disleksia hanyalah satu dari banyak tantangan dalam hidup. Yang penting bukanlah tantangan itu sendiri, tetapi bagaimana kita menghadapinya. Saya adalah bukti hidup bahwa meski disleksia menambah kesulitan, ia tidak pernah menghalangi saya untuk bermimpi, berusaha, dan pada akhirnya, mencapai hal-hal luar biasa dalam hidup saya.

"I didn't succeed despite my dylexic, but because of it. It wasn't my deficit, but my advantage".

-Scott Sonnon, juara dunia seni bela diri dan penulis-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun