Bodoh Kata Mereka, Berbeda Kataku: Menemukan Kekuatan dalam Disleksia
Ada momen-momen dalam hidup ketika label yang diberikan kepada kita begitu kuat, hingga kita mulai percaya bahwa itulah diri kita yang sebenarnya. Salah satu label yang paling menghantui saya selama masa sekolah adalah kata "bodoh." Setiap kali saya gagal memahami materi pelajaran dengan cepat, setiap kali saya salah mengeja kata-kata atau membaca dengan terputus-putus, label itu terpatri lebih dalam. Seringkali, guru-guru, mungkin tanpa mereka sadari, gagal menemukan metode yang tepat untuk menyampaikan pelajaran kepada anak-anak dengan disleksia seperti saya. Mereka menyerah sebelum mencoba memahami, dan saya pun perlahan-lahan menyerah pada diri sendiri.
Saya sering merasa menjadi penonton dalam kelas. Buku-buku yang seharusnya menjadi jendela dunia malah menjadi tembok tinggi yang tak bisa saya panjat. Setiap halaman tampak dipenuhi dengan huruf-huruf yang melompat dan berpindah tempat, menari di depan mata saya seolah menantang saya untuk memahami. Pada saat yang sama, teman-teman sekelas saya dengan mudah mengikuti pelajaran, seolah-olah mereka dilahirkan dengan peta yang saya tidak pernah punya. Semakin saya berusaha memahami, semakin jauh saya tertinggal.
Kehilangan harga diri adalah langkah berikutnya yang tak terhindarkan. Ketika Anda terus-menerus gagal, tidak hanya di mata orang lain tetapi juga di mata diri sendiri, rasa percaya diri yang pernah ada mulai terkikis. Stres, kebingungan, dan tekanan untuk tetap fokus hanya memperburuk disleksia yang saya alami. Saya tidak hanya berjuang dengan huruf-huruf, tetapi juga dengan perasaan ketidakberdayaan yang meresap. Rasanya seperti semakin keras saya berusaha, semakin jauh saya jatuh.
Namun, ironisnya, banyak dari kami yang dianggap "tidak mampu belajar" di masa sekolah, tumbuh menjadi individu yang sangat sukses. Saya mulai memahami bahwa kemampuan saya melihat dunia dengan cara yang unik, berbeda dari orang lain, adalah kekuatan yang tersembunyi di balik kesulitan yang saya hadapi. Dalam seni, teknik, bahkan dalam cara berpikir strategis, saya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang. Saya tidak perlu menjadi pembaca tercepat atau penulis paling sempurna untuk menjadi kreatif atau inovatif. Sayangnya, di masa kecil, kemampuan ini sering tidak terlihat oleh guru dan sistem pendidikan.
Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa perjuangan saya dengan disleksia adalah sesuatu yang akan terus saya hadapi sepanjang hidup. Dunia tidak dirancang untuk orang-orang seperti saya, dan itu bukan salah saya. Meski demikian, saya harus belajar untuk bertahan hidup di dunia yang menuntut kemampuan membaca dan menulis secara konvensional. Nomor telepon yang saya tulis sering kali terbalik. Memo kantor yang sederhana bisa menjadi teka-teki yang saya pecahkan berjam-jam. Saya mulai mengembangkan strategi bertahan, mulai dari meminta bantuan orang lain hingga menggunakan teknologi untuk membantu saya membaca dan menulis. Di balik semua itu, saya menanggung rasa malu dan ketakutan yang terus-menerus. Saya merasa dunia terus-menerus menghakimi saya, padahal apa yang saya alami bukanlah kesalahan saya.
Disleksia bukanlah tanda kerusakan otak, melainkan cara berpikir yang unik. Ini adalah cara berpikir yang bisa menciptakan kejeniusan dalam bidang-bidang yang tidak terduga. Banyak dari kami yang menderita disleksia ternyata unggul dalam seni, arsitektur, dan inovasi. Kami berpikir dengan cara yang intuitif dan nonverbal, sebuah kemampuan yang sering kali disalahartikan sebagai ketidakmampuan dalam membaca dan menulis. Sayangnya, sistem pendidikan kita yang terlalu berfokus pada kemampuan akademik tradisional sering kali mengabaikan kecerdasan ini. Bagi kami, sekolah bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk berjuang agar diakui.
Saya tahu betul bagaimana rasanya berjuang untuk diakui. Ada banyak malam ketika saya merasa dunia tidak adil, bahwa saya dipaksa untuk bermain dalam permainan yang aturannya tidak pernah saya pahami. Rasa frustrasi dan isolasi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari saya. Namun, jauh di dalam diri saya, ada tekad yang tak pernah padam. Saya tahu bahwa kecerdasan saya tidak diukur dari seberapa cepat saya bisa membaca atau seberapa rapi saya bisa menulis. Saya tahu ada sesuatu yang lebih besar dalam diri saya.
Pada suatu titik dalam hidup saya, saya diperiksa oleh seorang psikolog. Saya selalu berpikir bahwa saya "bodoh" karena sulitnya saya membaca dan menulis. Tetapi hasil tes IQ saya menunjukkan angka 138 angka yang jauh dari bodoh. Itu adalah bukti nyata bahwa disleksia tidak pernah menjadi ukuran dari potensi saya. Saya bukan bodoh, saya hanyalah berbeda.
Perjalanan saya tidak berakhir di situ. Saya belajar menerima disleksia sebagai bagian dari diri saya, tetapi saya tidak membiarkan hal itu menghentikan langkah saya. Saya menemukan cara-cara kreatif untuk mengatasi kesulitan yang saya hadapi. Teknologi menjadi sahabat saya, audiobook menggantikan buku teks, dan catatan pribadi menjadi panduan dalam hidup saya. Lebih penting lagi, saya belajar untuk tidak merasa malu. Disleksia tidak mendefinisikan siapa saya atau apa yang bisa saya capai.