Saya sendiri merasakan luka dari masa sekolah itu bertahun-tahun setelahnya. Bahkan ketika saya sudah dewasa, rasa cemas itu masih ada. Setiap kali saya dihadapkan pada situasi yang mengharuskan saya membaca dengan cepat atau memahami instruksi yang kompleks, bayangan masa lalu kembali menghantui.
Saya kembali merasa seperti anak kecil yang terjebak dalam kekacauan kata-kata yang tak bisa saya pahami. Setiap tatapan guru yang kecewa, setiap ejekan teman, setiap kegagalan akademik masih menghantui saya, membuat saya mempertanyakan apakah saya cukup berharga.
Namun, di tengah-tengah kegelapan ini, anak-anak disleksia adalah pahlawan dalam cerita hidup mereka sendiri. Mereka tidak hanya bertahan mereka berjuang. Setiap hari mereka bangkit dengan semangat baru, meskipun dunia tampaknya menentang mereka. Mereka melawan setiap huruf yang menghalangi, melawan setiap sistem yang menekan.
Mereka adalah pejuang yang sesungguhnya, dan keberanian mereka jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh orang-orang yang tidak pernah mengalami disleksia. Mereka terus berjuang, meski kerap kali tak ada yang melihat perjuangan mereka.
Saatnya kita, sebagai masyarakat, berhenti sejenak dan melihat kenyataan ini. Anak-anak disleksia bukanlah kegagalan sistem; mereka adalah jiwa-jiwa yang kuat dan tangguh. Mereka layak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan bersinar sesuai dengan keunikan mereka. Sistem pendidikan kita seharusnya tidak menjadi neraka bagi mereka, melainkan rumah kedua tempat di mana mereka bisa merasa diterima, dihargai, dan didukung untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Mari kita ciptakan dunia di mana setiap anak, apapun gaya belajarnya, dapat merasakan bahwa sekolah adalah tempat yang aman, penuh cinta, dan penghargaan. Karena di dalam setiap anak disleksia, ada potensi yang luar biasa. Mereka hanya butuh satu hal: kesempatan. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka berbeda, mereka mampu melampaui segala harapan, dan bahkan melebihi standar yang ditetapkan oleh dunia yang sering kali tak memahami mereka.
Sekolah tidak seharusnya menjadi neraka. Mari kita ubah itu untuk setiap anak yang membutuhkan dunia yang lebih memahami.
Banyak anak disleksia masih jatuh dalam celah, dan menderita harga diri rendah, , kecemasan dan depresi dalam kehidupan dewasa mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H