Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah "Neraka": Kisah dibalik Huruf yang Tak terlihat

25 September 2024   14:20 Diperbarui: 27 September 2024   16:09 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap kata, setiap kalimat, setiap buku yang seharusnya menjadi jendela menuju pengetahuan justru berubah menjadi medan pertempuran tanpa akhir. Bagi sebagian besar orang, membaca adalah aktivitas sederhana, otomatis, dan tak memerlukan upaya ekstra.

Namun, bagi anak-anak disleksia, realitas ini jauh dari kata sederhana. Setiap kata adalah tantangan, setiap huruf tampak kabur, dan setiap kalimat bergetar seolah menolak untuk dipecahkan maknanya. Bagi mereka, sekolah tidak lebih dari neraka---sebuah tempat di mana setiap hari adalah pertempuran melawan kebingungan dan ketidakpahaman, sementara dunia di sekitar mereka terus berjalan, seolah mereka tak terlihat.

Ketika teman-teman mereka dengan mudah membaca paragraf demi paragraf, anak-anak disleksia tertinggal, terperangkap dalam kabut kecemasan dan rasa malu. Saya ingat betul bagaimana rasanya saat masih di sekolah. Setiap halaman buku pelajaran tampak seperti musuh yang harus saya kalahkan. 

Setiap paragraf adalah labirin yang tak kunjung berujung, memaksa saya untuk membaca berulang kali demi sekadar menemukan makna yang terselip di antara huruf-huruf yang seakan menari-nari di halaman. Tak jarang, rasa frustrasi memuncak, apalagi ketika saya menyadari bahwa teman-teman saya sudah jauh melampaui saya. Mereka tertawa, memandang saya dengan tatapan penuh kebingungan atau ejekan, menyebut saya lambat, bodoh, atau kurang usaha.

Bukan hanya teman sebaya yang menjadi sumber tekanan. Para guru---sosok yang seharusnya menjadi pemandu dan pemberi dukungan sering kali tanpa sadar menambah beban yang saya pikul. Alih-alih memberikan bantuan, mereka justru kehilangan kesabaran. Saya dimarahi karena dianggap tidak berusaha cukup keras, dihukum karena dianggap tidak serius belajar. 

Di mata mereka, kegagalan saya untuk membaca dengan lancar adalah cerminan ketidakmampuan atau kurangnya kemauan. Sayangnya, mereka tidak tahu bahwa setiap upaya yang saya lakukan adalah perjuangan besar yang tak terlihat. Setiap huruf yang saya coba pahami adalah pertempuran kecil yang tak henti-hentinya.

Sekolah, yang bagi banyak anak adalah tempat belajar dan bertumbuh, menjadi tempat yang menakutkan bagi saya. Setiap lonceng tanda masuk kelas menimbulkan kecemasan dalam diri saya apa lagi yang akan saya hadapi hari ini? Di mana lagi saya akan gagal? Setiap kali mendengar cerita anak-anak disleksia lain, saya merasa terhubung dengan cara yang sangat mendalam. 

Ada perasaan yang sama, sebuah rasa takut yang tumbuh perlahan sekolah bukan lagi tempat pengetahuan, melainkan tempat di mana harga diri terkikis sedikit demi sedikit, hingga tak tersisa apa-apa selain rasa tak berharga. Saya bertanya-tanya, "Mengapa saya berbeda? Mengapa sekolah, yang seharusnya menjadi tempat bagi semua anak untuk berkembang, justru terasa seperti neraka bagi saya?"

Lebih menyakitkan lagi, sistem pendidikan kita, yang seharusnya inklusif, justru sering kali gagal mengakomodasi keunikan anak-anak disleksia. Sistem ini dibangun untuk mengakomodasi hanya segelintir gaya belajar gaya belajar yang kebanyakan disleksia tidak miliki. Setiap hari, anak-anak disleksia dipaksa untuk beroperasi dalam kerangka yang tidak sesuai dengan cara mereka memahami dunia. 

Akibatnya, mereka terpinggirkan, dilabeli sebagai "masalah," atau bahkan "kegagalan." Ironisnya, banyak dari anak-anak ini memiliki potensi yang luar biasa---di luar dinding-dinding sekolah yang sempit. Mereka sering kali unggul dalam bidang yang membutuhkan kreativitas, inovasi, ketekunan, atau kemampuan berpikir out-of-the-box. Namun, potensi itu terabaikan, terkubur di bawah tekanan akademik yang tidak dirancang untuk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun