Di tengah-tengah makan, saya baru menyadari bahwa ada beberapa potongan petai di piring. Tak tahu darimana asalnya, ternyata setelah saya tanyakan dengan Jazmi, teman duduk di sebelah, petai itu tadinya bercampur dengan kentang yang kami ambil di awal tadi. Tidak kentara memang kelihatannya, nampak jumlahnya memang tak begitu banyak, namun aromanya cukup menusuk hidung.
Dan entah mengapa ingatan saya kembali kepada ucapan pak kyai tempo hari, tentang makanan kesukaan dan juga tentang masa kecilnya.
Di dalam salah satu acara "1 Jam lebih dekat bersama Imam Besar Mesjid Istiqlal, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA ” yang ditayangkan oleh stasiun televisi TV One, ada satu stage dimana Pak Kyai dihadapkan dengan sebuah nampan berukuran kecil yang ditutupi dengan tutup nampan tersebut. Semacam kejutan. Lalu kemudian beliau dipinta oleh pembawa acara untuk membukanya. Ketika dibuka, isinya adalah petai! Melihat itu, semua spontan tertawa.
Kemudian Si pembawa acara melayangkan pertanyaan pada Bu Nyai, “Ada apa bu dengan petai? Apa hubungannya dengan bapak? Boleh diceritakan sedikit mungkin.”
Bu Nyai kemudian menjawab, disaksikan pula oleh Zia’ul Haramain, anak beliau: “Kalau di rumah, Bapak (Pak Kyai) paling senang dibikinin masakan dengan petai.” Bu Nyai tersenyum sambil memandang Pak Kyai. Alangkah romantisnya, ketika menyaksikan acara tersebut, saya hanya dapat memaknai tatapan Bu Nyai ketika acara itu sebagai tatapan kasih sayang dan bukti cinta beliau pada sang suami.
Pak Kyai pun juga mengakui bahwa beliau sangat menggemari petai sejak lama. Sedari kecil. Bahkan ketika kuliah di Saudi dulu, beliau tidak segan untuk membawa oleh-oleh dari tanah air untuk kawan-kawan beliau berupa petai dalam jumlah yang cukup banyak.
Di lain kesempatan, disaat halaqah fajriyah Shahih Bukhari dan Muslim. Ketika memasuki permulaan Bab “Muzara’ah wal Harats” dalam Shahih Bukhari beliau sempat bercerita tentang masa kecilnya:
(Seperti biasa, beliau menyampaikannya dengan menggunakan bahasa arab. Namun, agar mudah dipahami dan tidak memakan ruang yang banyak dalam catatan ini, ucapan beliau saya terjemahkan.)
“Dulunya saya bersama ayah mempunyai kebun petai di kampung. Manakala musim panen tiba, kami membawanya menuju pasar. Menggotongnya di punggung dengan ikatan yang besar. Tanpa memakai sendal, saya berjalan sejauh 4 kilometer dengan bawaan yang berat."
"Di tengah perjalanan seringkali kami menghadapi para 'tengkulak' yang biasa ingin membeli hasil panen dari para petani kampung. Panen kami ditawar dengan harga yang amat murah oleh mereka. Namun ayah tidak mau, mereka mengira orang kampung itu bodoh dan tidak tahu berapa harga pasaran. Akhirnya kami pun meninggalkan mereka hingga sampai di pasar. Masya Allah, itu benar-benar menjadi kenangan tersendiri bagi saya bersama ayah. Adapun sekarang semuanya sudah dimudahkan.”
Begitulah. Nampaknya petai menjadi salah satu sarana beliau untuk mengenang kembali masa lalu, bernostalgia dengan masa kecil. Betapa erat hubungan antar ayah dan anak. Dari yang bukan siapa-siapa hingga menjadi tokoh besar seperti sekarang. Dari yang dulunya seorang santri biasa hingga menjadi Imam Besar Mesjid terbesar dan terkenal, Mesjid Istiqlal Jakarta. Sehingga terjawablah sudah mengapa beliau begitu sangat menyukai panganan ini.