Mohon tunggu...
Imam Budidharma
Imam Budidharma Mohon Tunggu... -

Imam Budidharma; tinggal di luar kota Yogyakarta, diseputaran kampus UGM;\r\nBekerja sebagai pegawai pada sebuah kantor di Jalan Malioboro

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dieng: Negeri di Awan-Awan(g)

13 Agustus 2014   20:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:38 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_337902" align="alignleft" width="300" caption="Kupluk (dok. pribadi)"][/caption]

Malam itu langit cukup cerah di Dataran Tinggi Dieng. Bulan sempurna dalam wujud bulatnya tanpa terganggu lapisan awan. Demikian juga dengan aliran hawa dingin pun tak terganggu menyentuh lapisan kulit, membuat menggigil. Maka kami pun mencari perlengkapan tambahan di deretan warung sepanjang jalan, sarung tangan dan kupluk.

Malam itu, di sebuah pendopo pemerintah daerah setempat menyelenggarakan sebuah perhelatan sendratari untuk merekonstruksi perjalanan peradaban Dieng, Simfoni Negri di Awan. Di sela-sela barisan kursi, mereka menyalakan anglo (tungku) untuk menghangatkan suasana. Beberapa memanfaatkannya untuk membakar jagung atau singkong.

Geliat wisata Dieng hadir diantara benturan aktivitas pertanian dan usaha penghijauan kembali. Hutan-hutan gundul menjadi ladang sayur atau kentang. Dari kejauhan beberapa bukit hanya menyisakan pepohonan dibagian pucuk saja. Berbeda dengan gambaran saya di waktu kecil tatkala melihat kotak Dieng dalam papan permainan Monopoli versi Indonesia sebagai kawasan dengan tutupan hutan lebat di puncak pegunungan. Sejatinya aktivitas wisata memberikan alternatif penghidupan bagi warga setempat sembari melakukan upaya penghijauan kembali lahan yang terlanjur dibabat.

Beberapa event digelar oleh komunitas dan pemerintah setempat. Yang terkenal di antara para pelancong adalah upacara pemotongan rambut gimbal yang dikemas dalam paket Dieng Cultural Festival (DCF). Saya kurang beruntung karena tiket paket wisata DCF akhir bulan ini telah habis. Sebagai alternatif, digelar juga agenda event lain seperti yang kami nikmati akhir minggu kemarin.Ratusan penari, pemusik dan penggending gamelan memainkan lakon perkembangan Dieng di masa lampau.

Alkisah masyarakat awal jawa mencari tempat layak bagi pemujaan para dewata, maka dicarilah tempat di dataran tinggi untuk pendirian candi. Digambarkan bagaimana masyarakat berkembang dalam mengatasi rimba raya nan liar. Melalui gerak lincah penari, tervisualisasikan upaya pengolahan lahan subur Dieng sebagai penghidupan. Penguasa dan masyarakat tinggal dalam harmoni. Wangsa Sanjaya dan Syailendra dapat hidup rukun waktu itu. Di sela-sela adegan, muncul penyayi yang dikenal sebagai produk ajang pencarian bakat. Saya sendiri sebenarnya heran mengapa harus menghadirkan orang itu. Mungkin dalam benak panitia setempat, kehadiran artis 'ibu kota' bisa mendongkrak pemasaran perhelatan tersebut.

[caption id="attachment_337892" align="alignleft" width="300" caption="Penari di Simfoni Dieng (dok. pribadi)"]

14079119681277782609
14079119681277782609
[/caption]

Semarak sendratari malam itu masih menyisakan beberapa catatan. Mulai dari panggung penampil yang dinilai belum representatif hingga konsep koreografi yang cenderung 'terlalu ramai', seakan ingin memasukan semua gagasan dalam sajian malam itu. Misalkan saja, tiba-tiba muncul adegan para penunggang kuda dan kuda sungguhan masuk ke panggung. Hanya berjalan memutar layaknya peragaan busana, saya merasa rancu 'apa maksudnya itu?'. Yang muncul hanyalah euforia 'woow' ada kuda di panggung. Kebudayaan itu sendiri bukan produk instan, tradisi yang hendak dibangun ini masih dalam proses. Semoga dalam penyajian di masa mendatang mereka telah menemukan kematangan bentuk.

****

Pagi hari benar kami menuju Bukit Sikunir di desa Sembungan, desa tertinggi di pulau Jawa. Bukit Sikunir merupakan tempat favorit untuk menyaksikan matahari terbit. Saking populernya, di akhir pekan puncak Sikunir penuh sesak manusia. Menuju puncak perlu kesabaran tersendiri, selain jalanan yang menanjak juga karena antrian manusia di jalan setapak yang sempit. Di puncak, aneka polah manusia berkumpul menjadi satu. Adegan-adegan foto selfie hingga pemburu foto dengan kamera profesional hadir di tempat itu. Seorang pemandu lokal berkomentar pagi itu, sunrise yang dinanti tidaklah sempurna. Awan menutupi ufuk timur, matahari baru menyembul bulat menjelang pukul 6. Namun pemandangan tetaplah menakjubkan pagi itu. Pagi yang sama, matahari yang sama, di tempat semacam ini rasanya menjadi luar biasa.

[caption id="attachment_337889" align="alignleft" width="180" caption="Sunrise di Bukit Sikunir (dok. pribadi)"]

1407911782440306020
1407911782440306020
[/caption]

Dieng Plateu sendiri memiliki titik daya tarik yang bisa dikunjungi, aneka danau seperti Telaga Warna dan Telaga Pengilon, kawah sulfur Sikidang hingga area percandian era Mataram Kuno mengundang untuk dieksplorasi. Kalau itu belum cukup, bisa dijajal mendaki gunung Prau yang konon dari sini bisa dilihat puncak-puncak gunung di Jawa.

Menuju kawasan Candi Arjuna, kami memotong jalan melewati kawasan ladang pertanian. Di tengah landskap alam yang mempesona, pemandangan banyak terganggu kehadiran sampah bahkan di antara tanaman-tanaman di ladang. Mengapa di manapun kita masih sulit mengendalikan diri untuk mengelola sampah dengan bijak?

Di kawasan Candi Arjuna, saya sendiri tidak banyak berperilaku. Menyaksikan rumput hijau di tanah lapang, saya rasanya ingin duduk-duduk di bawah teduhnya cemara sembari memandang komplek Candi Arjuna dengan latar pegunungan di belakangnya. Menerawang langit lepas, awangan saya memunculkan imajinasi bagaimana masyarakat masa lalu membangun peradaban di tempat ini. Tempat yang indah, pantaslah para dewata bersemayam di sini.

[caption id="attachment_337903" align="alignright" width="300" caption="candi arjuna (dok. pribadi)"]

1407913956694094795
1407913956694094795
[/caption]

Di salah satu pintu candi, ada beberapa orang berpakaian ala tokoh dalam pewayangan. Di gerbang komplek tadi memang ada semacam banner jasa foto bersama tokoh wayang. Sekali foto 5 ribu rupiah, tiga kali foto 10 ribu rupiah. Dalam riasan wajah laksana mahluk yang disebut butho, lelaki itu memandang jauh dalam keletihan mungkin. Memandang para pengunjung apakah semakin banyak pengunjung yang datang, yang mungkin berkenan meminta jasanya untuk berfoto bersama. Di sisi lain, anak-anak kecil justru lebih riang mendekati 3 orang memakai kostum Teletubis dan merengek pada orang tuanya untuk berfoto bersama

Siangnya dengan menggunakan angkutan umum kami kembali ke Wonosobo. Dalam laju menuruni bibir pegunungan, diangkutnya para penumpang dari desa ke desa hingga penuh sesaklah bus itu. Dari balik jendela saya melihat kenek bus dan beberapa penumpang bergelantungan di tepi pintu. Sementara jauh di seberang, saluran-saluran pipa dan selang air di lahan pertanian tampak seperti infus yang mengghidupan wilayah itu.

Saya teringat pidato sang Bupati yang mencanangkan target penurunan suhu di wilayah itu, bahkan diungkapkannya hingga wilayah perkotaan Wonosobo harus bisa mencapai suhu 16 derajat celcius. Tentu cita-cita itu perlu diikuti upaya penghijauan kembali secara besar-besaran.

Suatu kesempatan saya menyaksikan bapak-ibu pemilik homestay tengah duduk di ruang keluarga. Saya pikir mereka tengah menyaksikan televisi, ternyata mereka tengah berhadapan dengan alat penghangat ruangan. Berbahan bakar gas kemasan LPG 3 Kg, mesin itu sebearnya penghangat ayam.

“Tidak pakai kayu bakar lagi?” tanya saya.

“Tidak, biar hutannya tidak tambah gundul” jawabnya denga logat khas Wonosobo-Banjarnegara

Mungkin optimisme cita-cita mendingingkan kembali wilayah itu masih ada, bukanlah semata awang-awang semata

[caption id="attachment_337899" align="aligncenter" width="300" caption="Telaga Warna (Dok. Pribadi)"]

14079131232117913806
14079131232117913806
[/caption]

[caption id="attachment_337894" align="aligncenter" width="300" caption="Petani Dieng (dok. pribadi)"]

14079121451534535102
14079121451534535102
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun