Tulisan ini akan mengupas tentang aspek primordialisme dalam ajaran Islam, yakni perayaan Idul Adha. Hikmah ritual tahunan ini semestinya tidak hanya dikaji secara stagnan dari perspektif moralitas yang terkandung dalam peristiwa qurban. Â Namun harus lebih melebar ke aspek-aspek yang lain. Mengapa demikian, karena kehidupan manusia tidak hanya fokus pada sisi moral relegius, tetapi juga berkompetensi sosio-antropologis. Dengan kata lain Idul Adha tidak hanya berkisar pada berapa banyak nash Al Quran dan Al Hadits tentang Idul Adha, tetapi juga tentang seberapa jauh unsur-unsur Idul Adha tersebut memberikan daya sentuh terhadap kehidupan manusia.
Secara umum Idul Adha mencakup dua elemen, yaitu ibadah haji dan peristiwa qurban. Ibadah haji diasumsikan sebagaimana penyempurna keislaman seseorang, dengan catatan dia memiliki kapasitas cukup baik aspek finansial maupun imunitas fisik, haji diposisikan, sebagai ekspresi pengorbanan seseorang jikalau memiliki kekayaan yang cukup.
Sementara ibadah qurban merupakan implikasi dari dedikasi seorang hamba kepada Tuhannya. Ibadah qurban adalah simbol totalitas dedikasi. Sinkretisasi antara alur historis ibadah qurban dengan implementasinya, jika diaplikasikan secara nyata tentunya akan menciptakan sosok hamba yang luar biasa.
Kajian ini akan berkonsentrasi pada hikmah ibadah qurban dalam relasi sosio-antropologis kehidupan umat Islam di muka bumi ini. Sebagaimana kita ketahui, ajaran Islam tidak sebatas pada terma konsensus hukum baik dan buruk atau benar dan salah. Namun mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Begitu juga dengan hikmah ibadah kurban. Terlepas dari sejarah asal mulanya. Ibadah kurban telah meninggalkan nilai-nilai yang memiliki urgensitas tinggi dalam masa sekarang.
Dalam ranah sosiologis, kita mengenal konsep komunikasi sosial sebagai bagian dari proses sosial. Ibadah qurban merupakan lambang terjalinya komunikasi antara orang kaya dengan tidak mampu. Jika dicermati lebih jauh, ibadah qurban telah membentuk sebuah konstruksi yang kuat antara golongan yang berkecukupan dengan golongan yang kurang mampu.
Berdasarkan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa komunikasi sosial merupakan salah satu unsur penting berlangsungnya kehidupan umat manusia. Ibadah qurban ditafsirkan sebagai penguat komunikasi antara kalangan dalam struktur kehidupan.
Wujud nyata dari relasi sosial adalah kehidupan bermasyarakat. Prinsip senasib sepenanggungan menjadi sangat penting  dalam kelangsungan sebuah masyarakat sehingga tidak terjadi ketimpangan antar bagian masyarakat tersebut. Supaya tercipta keselarasan antara orang kaya dan orang miskin. Disinilah nilai ibadah qurban kita rasakan. Terlepas dari kualitasnya, ibadah qurban mengindikasikan perasaan senasib antara orang kaya dan orang miskin, dimana kita saling berbagi satu sama lain.
Adapun ibadah qurban ditinjau dari aspek antropologis, dapat diketahui dari strata kesakralan ibadah qurban dalam kehidupan umat Islam. Dalam kajian antropologis kita mengenal istilah relegius emotion (emosi keagamaan). emosi keagamaanlah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bernuansa religi.
Relasi Kesalehan Sosial
Paradigma kontemporer mengarah pada pola hidup dan perilaku keberagamaan secara simbolik merupakan hasil kolaborasi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan gaya hidup modern yang serba instan dan sarat nuansa sekuler-memisahkan agama dengan kehidupan dunia.
Perintah dan larangan agama yang tertuang dalam rangkaian syari'at suci dipandang sebagai sebuah teologi (ritual) semata, menutupi kebiasaan harian yang lebih mementingkan produktivitas keduniaan dengan berjejalnya tugas dan kewajiban yang selalu mengejar untuk segera diselesaikan. Mengelabui komunitas di sekitarnya agar tetap dianggap insan yang beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta ajaran agamanya, atau supaya tetap dipandang layak hidup dan tinggal di negeri yang berdasarkan "Ketuhanan".
Bahkan, yang lebih ironis, merasa sangat puas dan terhormat dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk dikurbankan bagi para dhuafa, fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekitarnya, tanpa pernah memahami dengan benar ajaran yang terkandung di dalamnya dan hikmah dari syari'at yang telah dijalankan.
Makna substansial dan keagungan Hari Raya Kurban telah tereduksi. Pembelajaran untuk mensucikan ketauhidan serta pengorbanan tak kenal batas kepada Tuhan nyaris pupus dan wisata ruhiah telah tersubstitusi dengan wisata badaniyah dengan segala atribut kecintaan terhadap dunia secara berlebihan (hubbud-dunya).
Implikasi dari keshalehan sosial yang seharusnya terefleksi dari peristiwa besar tersebut, melalui kecintaan dan kasih sayang antar sesama manusia hanya tampak di permukaan, bersifat sementara, bahkan hanya terjadi pada hari itu saja. Selebihnya kembali seperti hari biasa: berkompetisi tak kenal etika, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin, para penguasa berlaku dzalim bahkan para kyai dan ulama telah banyak tergoda dengan memperjual-belikan ayat-ayat Allah, SWT dengan harga yang sangat rendah demi keuntungan dan kemakmuran pribadinya. Gambaran tatanan masyarakat yang sangat paradoks dengan jumlah masyarakat muslim terbesar sejagad.Â
Momentum Hari Raya Idul Adha merupakan pembelajaran pengorbanan dan ujian keimanan terberat sepanjang sejarah peradaban manusia, yang diperankan oleh Nabi Ibrahim, AS. dan Nabi Ismail, AS. sebagaimana disinyalir dalam firman Allah, SWT, "Sesungguhnya ini merupakan uji coba yang nyata" (QS. Ash-Shafat: 106). Dalam lanjutan kisah pengorbanan tersebut, atas kekuasaan dan kehendak Allah, SWT maka Nabi Ismail digantikan dengan seekor domba besar dan sangat indah, yang dahulu dikorbankan oleh Habil (putra Nabi Adam, AS), sebagaimana firman Allah, SWT, "Kami tebus anaknya itu dengan sembelihan besar (seekor domba)". (QS. Ash-Shafat :107).
Ketaatan Nabi Ibrahim, AS, serta keikhlasan dan kesabaran Nabi Ismail, AS, dalam menjunjung tinggi perintah Allah, SWT mengundang kekaguman para malaikat, yang segera menyerukan kalimat takbir, "Allahu akbar, Allahu akbar", dan disambut Nabi Ibrahim dengan kalimat tahlil, "Laa ilaha illallahu Allahu akbar". Disusul seruan Nabi Ismail dengan ucapan tahmid, "Allahu akbar walillah ilhamd". Rangkaian kalimat suci tersebut diabadikan hingga sekarang. Rangkaian kalimat yang mulia ini menghiasi ratusan juta bibir umat Islam saat merayakan Idul Adha.
Peristiwa besar dan Agung tersebut tentunya mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh umat manusia untuk dipahami dan diteladani dalam menjalankan kehidupan dialam semesta ini. Yakni, Pertama, hendaknya hanya kepada Allah segenap cinta dicurahkan, sebab rahmat dan nikmat-Nya kita terima setiap saat, tak terhitung nilai dan kuantitasnya meski menggunakan air laut sebagai tintanya dan seluruh ranting pepohonan sebagai penanya. Niscaya akan kering seluruh lautan dan habis semua pepohonan, sedangkan nikmat Allah masih terlalu banyak yang belum dapat dituliskan.
Hal tersebut sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Quran : "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah" (QS. Al-Kautsar : 1-2). Ibadah kurban merupakan perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, sikap mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah, yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah, diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Teladan paling mulia tentang kecintaan kepada Allah sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dengan kesediaan menyembelih putra kesayangannya.
Kedua, selayaknya hanya kepada Allah dipersembahkan segala puja dan puji. Perintah berkurban bagi mereka yang diberi kelebihan rezeki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin dan dhuafa mengandung pesan penting ajaran Islam bahwa "Anda bisa dekat dengan Allah hanya ketika Anda bisa mendekati dan menolong saudara-saudara kita yang serba kekurangan", sehingga terbangun ikatan solidaritas sosial dan semangat tolong-menolong antaranggota masyarakat. Sikap tersebut dapat mengurangi kesenjangan sosial dan menjaga suasana kehidupan harmonis di antara sesama warga.
Menyembelih hewan kurban bukanlah media untuk mendapatkan pujian atas pengurbanan yang telah dilakukan, apalagi mengharap agar dianggap sebagai orang yang dermawan. Sungguh ironis. Hakekatnya hanya Allah, Dzat yang pantas menerima pujian karena kebesaran dan keagungan-Nya, yang telah menciptakan seluruh makhluk di alam semesta dan seisinya, mematikan yang hidup, lalu menghidupkan yang mati, menganugerahkan kepintaran kepada mereka yang sebelumnya tak mengerti, memberikan kekuasaan kepada mereka yang sebelumnya sangat lemah.
Ketiga, hanya kepada Allah tempat berserah diri atas segala amal ibadah yang didirikan siang dan malam. Dzikir yang dilafadzkan pagi dan petang didasari dengan niat ikhlas tanpa mengharapkan pujian dari makhluk-Nya adalah wujud pengabdian hamba kepada Rabb-nya. Bukankah setiap hari kita berikrar dalam doa iftitah setiap menunaikan ibadah shalat, "Sesungguhnya shalatku dan semua ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, SWT, Tuhan semesta alam."
Demikianlah relevansinya umat Islam untuk memelihara nyala api ibadah kurban dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H