Dalam Islam, guru merupakan profesi yang amat mulia, karena pendidikan adalah salah satu tema sentral Islam, Nabi Muhammad sendiri sering disebut sebagai "pendidik kemanusiaan" (educator of mindkind).Â
Bagi Islam, seorang guru haruslah bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi sekaligus pendidik. Karena itu dalam Islam, seseorang dapat menjadi guru bukan hanya karena ia telah memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademisi saja, tetapi lebih penting  lagi ia harus terpuji akhlaknya.
Dengan demikian, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting pula membentuk watak dan kepribadian anak didiknya dengan akhlaq dan ajaran-ajaran Islam.Â
Dr. Syed Hossein Nasr dalam "Konferensi Pendidikan Islam Pertama" di Mekkah tahun 1978 antara lain menyimpulkan bahwa guru sebagai figur sentral dalam pendidikan, guru haruslah dapat diteladani akhlaknya disamping kemampuan keilmuan dan akademisnya.
Selain itu guru harus mempunyai tanggung jawab moral dan keagamaan untuk membentuk anak didiknya menjadi orang yang berilmu dan berakhlak. Â Guru harus juga tidak diyakini kebenarannya secara mutlak, dan apa yang ia ketahui harus di sampaikan kepada muridnya dengan sebaik-baiknya.Â
Dengan demikian guru dalam konsep Islam adalah sumber ilmu dan moral. Ia merupakan tokoh identifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran akhlaqnya, sehingga anak didiknya selalu berupaya untuk mengikuti langkah-langkahnya.
Kesatuan antara kepemimpinan moral dan keilmuan dalam diri seorang guru dapat menghindarkan anak didik dari bahaya keterpecahan pribadi (split personality). Selain itu keyakinan pada ajaran Islam, bahwa ilmu yang dimilikinya tidak ada apa-apanya dibandingkan ilmu Allah Swt., menumbuhkan dalam diri guru sikap rendah hati (tawadhu'), ikhlas, sabar, tolong menolong (ta'awun) dan lain-lain.Â
Sikap ini selain dapat menjadikan faktor ekonomi dan materi menjadi tidak lagi yang terpenting, sekaligus akan menghindarkan diri seorang guru dari sikap merasa paling pintar sendiri (narsisisme) atau keangkuhan intelektual (intelektual arrogance), otoriter terhadap murid dan lain-lain.
Semua sikap yang manusiawi seperti diatas pada gilirannya juga akan menciptakan hubungan-hubungan manusiawi antara orang-orang yang terlibat interaksi dalam pendidikan.Â
Hubungan-hubungan yang terjadi bukan lagi berdasarkan birokrasi dan formalitas, tetapi didorong oleh kebutuhan fitri terhadap ilmu pengetahuan dan sebuah kebenaran.Â
Sebagaimana terlihat proses pendidikan dipesantren, guru (kyai) lebih merupakan kepemimpinan moral daripada mengajar ilmu belaka. Sifat-sifat seorang guru seperti diuraikan di atas, ternyata telah menjadi milik khas pesantren yang telah dimiliki lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Ditengah kemelut dan pemberontakan yang begitu meluas terhadap sistem lembaga pendidikan dewasa ini, adalah cukup beralasan bila kita melihat kembali pendidikan model pesantren.