Mohon tunggu...
Imam Basori
Imam Basori Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen

Senior Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Muhasabah

24 April 2015   19:44 Diperbarui: 1 Juli 2023   10:14 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Merenung, muhasabah, instropeksi diri, itulah yang seharusnya kita lakukan setiapĀ saat. Kalau perlu kita sholat taubat, dengan harapan dosa-dosa pada tahun-tahun sebelumnya diampuni oleh Allah swt. Lantas, kita di beri petunjuk oleh-Nya, syukur-syukur kita diberi hidayah sehingga kita merasa benar-benar siap menatap masa depan. Alangkah indahnya jikalau hal itu terjadi pada setiap muslim disekitar kita. Alangkah sejuknya jika hal itu terjadi pada diri kita, keluarga kita dan orang-orang yang dekat dengan kita.

Kita harus sadar bahwa hidup ini hanya sebentar. Umat Nabi Muhammad adalah umat yang diberikan usia paling pendek oleh Allah Swt. Berbeda dengan Nabi Nuh, yang diberikan usia 950 tahun (QS. Al Ankabut: 14). Kalau Nabi Muhammad Saw, saja usianya 63 tahun, maka jika diantara kita ada yang berusia lebih dari itu maka orang tersebut telah mendapatkan bonus usia dari Tuhan. Dengan demikian kita tidak boleh menyia-nyiakan usia kita yang semakin hari-semakin berkurang.

Pesan Rasulullah kepada umatnya, "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan mati besuk".

Pesan tersebut mengisyaratkan bahwa kita sebagai muslim wajib hukumnya untuk bekerja keras. Mengapa wajib? Hadits tersebut menggunakan kata "bekerjalah", dalam Bahasa Arab mengggunakan kata "I'mal" yang terdiri dari fi'il amar, yang artinya perintah. Sebuah kalimat yang menggunakan kata perintah hampir pasti mengandung sesuatu yang harus dikerjakan, yakni wajib.

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bermalas-malasan, namun sebaliknya, Islam mengajarkan kepada kita untuk rajin bekerja. Islam mengajarkan kepada kita untuk berkarya dan selalu berkarya. Dengan rajin bekerja maka kita bisa menghasilkan sesuatu yang kita inginkan. Akan tetapi pekerjaan yang bagaimana yang diajarkan oleh Islam? Sudah pasti pekerjaan yang dianjurkan dan memenuhi syarā€™i. Kita bekerja seakan-akan kita hidup selama-lamanya dan tidak akan pernah mati. Sehingga kita bisa bekerja secara maksimal, terencana dan yakin usaha kita akan tercapai.

Sesungguhnya manusia diciptakan di dunia ini tiada lain hanya untuk beribadah. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).

Berkata jujur, tidak suka memfitnah, selalu berkata baik, tidak suka mengumpat adalah ibadah lisan. Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, Allah Ā berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh." (Qs. Adz-Dzariyat: 56-58)

Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari'at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari'atkan-Nya maka ia adalah mubtadi' (pelaku bid'ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari'at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).

Maka sesungguhnya ibadah yang kita lakukan adalah untuk kita sendiri sebagai hamba Allah, yang setiap saat bersimpuh dihadapan yang maha Dzat yang maha segala-galanya. Bersimpuh agar diberikan rizki yang baik kepada keluarga kita, berharap akan nikmat yang berlimpah agar Ā diturunkan melalui kerja keras kita. Namun demikian kita harus tetap tawakkal ketika Allah benar-benar mengabulkan apa yang kita inginkan. Bukankah setiap rizki yang kita peroleh terdapat sebagian hak untuk fakir miskin?

Ada baiknya kalau kita simak dialog antara seorang Kiai dengan santrinya berikut ini. Suatu ketika sang kiai mengajarkan surat-surat pendek (Juz Amma) kepada santri. Namun setiap kali itu pula surat Al-Maun yang disampaikan kepada santrinya. Hari-hari berikutnya juga demikian, hanya surat Al-Maun saja yang beliau ajarkan kepada santrinya. Akhirnya ada seorang santri yang memberanikan diri untuk bertanya.

Santri Ā : "Kiai, Ā kenapa tiap hari kita hanya diajarkan surat Al Maun saja?, ada apa dengan Ā Surat Al Maā€™un? Lantas kapan kita bisa mengkhatamkan Al-Quran?". Kiai diam saja tidak menjawab Ā sepatah katapun. Hari berikutnya, tetap saja hanya surat Al-Maun yang diajarkan oleh Sang Kiai kepada santri-santrinya. Namun, suatu ketika kiai menjawab pertanyaan santri-santrinya, ā€œWahai para santri, kenapa saya selalu mengajarkan Surat Al Maun?, ketahuilah bahwa didalam surat Al Maun terdapat perintah agar kita tidak menelantarkan orang miskin dan menghardik anak yatim. Bahkan, lanjut kiai, didalam surat (Al Maun) tersebut dijelaskan bahwa orang yang berbuat demikian adalah termasuk pendusta agama. Maukah kita dikatakan sebagai pendusta agama?, tentu saja tidak.", kata Kiai. Itulah sebabnya mengapa sang kiai selalu mengajarkan Surat Al-Maun, tidak saja mengajarkan tetapi lebih dari itu yakni harus bisa mengamalkanya.

Dari dialog tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa berdakwah atau dalam bahasa sehari-hari bisa kita artikan "mengajak", atau menyerukan orang lain untuk berbuat kebaikan, maka harus dimulai dari diri sendiri. Maka sangat tepat jika Kiai tadi mengajarkan Al Quran sekaligus mengamalkannya seketika itu juga. Dan ingat sabda nabi "sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia sekelilingnya", maksudnya adalah kita harus bisa menjadi umat yang bermanfaat bagi siapa saja, tanpa memandang suku, ras, bahasa, bangsa ataupun golongan.

Bahkan Gus Dur pernah berujar, "gak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu". Hal ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada sesama itu tidak boleh melihat suku, agama, ras, ataupun golongan. Berbuat baik, ya berbuat baik saja, tanpa adanya pertimbangan tertentu. Jadi, sejatinya Islam itu mengajarkan pluralisme, bukan primordialisme. Islam itu mengajarkan inklusivisme dan bukan eksklusivisme. Islam itu adalah agama yang memberikan rahmat bagi setiap pemeluknya, bahkan Islam sangat menghormati dan mengakui keberadaan agama-agama sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun