Korupsi, adalah salah satu penyakit yang menjamur dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Â Beberapa sejarawan juga mengatakan, bahwa korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman Indonesia belum merdeka.Â
Salah satu penyebab kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi runtuh adalah prilaku korupsi para pembesar kerajaannya. Selain menjamur, korupsi juga seakan menjadi penyakit yang tak ditemukan obatnya. Sudah lama Indonesia merdeka, namun tetap saja korupsi masih belum ditemukan solusinya.
Mengenai solusi, baru-baru ini telah ditetapkan oleh presiden, dalam PP 43/2018 yang berisikan tentang imbalan Rp 200 juta bagi pelapor kasus korupsi, lisan maupun tulisan, elektronik maupun nonelektronik. Sehingga dengannya, masyarakat dapat memberikan informasi dugaan tindakan korupsi. Â
Ini adalah salah satu upaya pemberantasan korupsi yang telah menjamur di Indonesia. Namun kelemahan darinya, bagaimana jika yang menjadi pelaku adalah hampir seluruh anggota dalam satu wadah pemerintahan? Sedangkan masyarakat bawah yang tidak menjabat, tak selalu tahu menahu mengenai obrolan dan rapat pemerintahan? Sebagaimana hal ini pernah terjadi di salah satu kota di Jawa Timur yang hampir seluruh jajaran anggotanya terjerat kasus dalam KPK.
Kita banyak mengenal, banyak dipaparkan mengenai penyabab dan faktor tindak korupsi. Internet, buku, perkuliahan, dll. sudah banyak yang menyinggung mengenai korupsi. Namun, seakan semuanya hanya menjadi omong kosong yang berlalu setelah perbincangan selesai. Padahal, bukankah salah satu yang menjadi faktor tindak korupsi adalah moral yang kurang kuat. Lalu apa gunanya Pendidikan Anti Korupsi diwacanakan dalam perkuliahan namun tak menjadi karakter bagi Mahasiswanya.
Dalam masalah korupsi, islam tak berdiam diri. Islam tak hanya membahas mengenai peribadatan, komunikasi antara makhluk dan Pencipta. Namun islam juga membahas mengenai hubungan dan komunikasi antar manusia, termasuk pemerintahan. Dalam Alquran disebutkan salah satu ayat mengenai ini:
Walaa ta'kuluu amwaalakum baynakum bilbaathili watudluu bihaa ilaa lhukkaami lita'kuluu fariiqan min amwaali nnaasi bil-itsmi wa-antum ta'lamuun
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Ayat ini menunjukkan larangan memakan harta orang lain dengan tidak benar, sama halnya dengan korupsi. Bahkan dalam ayat itu juga memberikan larangan membawa urusan harta kepada hakim, maksudnya yaitu membawa kepada hakim dengan menyertakan uang suap untuk mendapatkan harta itu, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Jalaluddin Al Mahalli dalam kitabnya Tafsir Jalalain.
Tak hanya dalam Alquran, Rasulullah juga menyinggung melarang prilaku korupsi ini. Sebagaimana hadis dari Abu Huroiroh:
"Dari Abu Huroiroh Ra. ia berkata; Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap."
Sebagaimana disebutkan secara tegas, bahwa bentuk larangan rasul terhadap pelaku korupsi adalah laknat. Dan segala hal yang dilaknat adalah dosa besar. Laknat sendiri, adalah antonim dari rahmat. Sehingga ketika sesorang mendapat laknat dari Allah maka jauhlah ia dari rahmat dan kasih saying Tuhannya.
Selain itu, banyak para tokoh ulama yang menyinggung masalah korupsi. Diantara ungkapan ulama yang provokatif adalah bahwasanya, pekerjaan yang dilakukan oleh para pemimpin, sudah tergambar dalam pekerjaan masyarakatnya.Â
Ketika masyarakat adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya, maka adil pula pemimpin mereka. Ketika masyarakat sudah banyak melakukan penipuan, berbuat lalim, maka pemimpin mereka seperti itu pula. Jika masyarakat berani mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka begitupun pemimpin mereka berani mengambil selain haknya. Begiulah yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim Aljauziyah.
Hal ini dapat dilihat pada zaman Khulafaur Rasyidin, para Khalifah sangat bijaksana dan adil sebagaimana para sahabat yang seluruhnya adil. Namun berbeda dengan zaman sekarang, betapa banyak kedok-kedok dan penipuan yang terjadi di masyarakat kita. Begitupun kita dapat membayangkan para pemimpin kita.
Maka dari itu, penanaman karakter yang menolak prilaku tak terpuji menjadi sangat penting. Ketika karakter masyarakat, terutama pemuda bangsa telah dapat dinilai dengan istilah terpuji. Maka begitupun prilaku para pemimpin kita akan miliki. Dan penanaman karakter yang baik haruslah dimulai dari titik terendah karakter itu sendiri berawal, yakni tiap individu dari kita seluruhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI