Kita punya 580 ribu lebih prajurit. Atau kira-kira hanya 0,24 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Amerika 0,5 persen. Singapura 0,9 persen. Tetapi jumlah personel cadangannya mencapai 25 persen. Ini karena di Singapura mengenal wajib militer. China jumlah tentaranya sebesar 2 persen dari jumlah penduduk.
Artinya jumlah TNI terhadap jumlah penduduk Indonesia masih sangat kecil. Karena itulah strategi yang dipilih adalah melakukan penguatan TNI pada kemampuan penguasaan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista). Ini adalah rencana strategis yang dilakukan sejak 2010.
KPI-nya adalah memenuhi Minimum Essential Force (MEF) alias standar minimum kekuatan pokok. Yang berbasis pada tiga hal yakni kekuatan, sebaran atau gelaran dan kemampuan. Dasar seperti ini juga diaplikasi di kekuatan militer negara lain dalam mengantisipasi kondisi global yang tidak menentu.
Faktor alutsista berupa lifecycle dilakukan pula dengan cara mengoptimalkan perusahaan lokal yang bergerak di industri pertahanan dan keamanan. Sehingga produk-produk berteknologi karya para insinyur Indonesia dapat diaplikasikan langsung dalam berbagai operasi, baik militer maupun kemanusiaan. Dalam hal ini TNI kian mengakomodir produk lokal untuk melengkapi dan memenuhi MEF tadi.
TNI dari rakyat. Kelahiran dan proses sejarahnya tidak lepas dari peran rakyat. Baik dalam kebijakan maupun aktivitas tempur kala itu. Jelas faktanya bahwa TNI amat membutuhkan kehadiran rakyat. Namun menjadi TNI memiliki kapasitas dan kemampuan lebih dibandingkan rakyat semata. Karena ia dilatih untuk terlatih.
Seorang prajurit berasal dari rakyat. Ia dilatih menjadi lebih hebat dari rakyat. Kelak kembali menjadi rakyat. Sebab itu, ia mesti selalu dekat dengan jati dirinya, yakni rakyat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H