Anda, para pembaca, terutama anak kelahiran tahun 80-90-an, ada yang pernah tidak berani pulang ke rumah, usai 'ditegur' guru di sekolah. Pasalnya, jika ketahuan orang tua, malah akan mendapatkan 'hadiah spesial' lagi, yang berlipat-lipat. Bukan mendapatkan pembelaan dari orang tua.
Bahkan, orang tua dahulu selalu menyampaikan terima kasih kepada guru, jika anaknya 'ditegur' di sekolah. Sehingga, murid, atau anak tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama, terutama saat di sekolah. Anak jadi tidak manja. Juga punya sopan-santun.
Hanya saja, sekarang, fenomena itu luntur, seolah ditelan zaman. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir ini, publik tanah air dihebohkan dengan berita seorang guru, honorer lagi, yang harus berususan dengan hukum. Dan, al-hamdulillah, informasi yang berkembang, hari ini, tepat pada Hari Guru Nasional (HGN), guru tersebut divonis bebas. Detailnya Anda bisa tanya ke mbah Google, banyak artikel atau berita yang membahasnya. Â
Yang perlu digaris bawahi: kenapa orang tua dahulu dan sekarang berbeda sikap, dalam menerima 'teguran' guru di sekolah atas anaknya. Jujur, penulis tidak tahu jawabannya, belum melakukan riset ilmiah. Namun, jika boleh berpendapat, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, wali murid dahulu sangat percaya bahwa guru tidak mungkin 'menegur', jika muridnya 'tidak berulah'. Sehingga, para orang tua percaya, mungkin anaknya melanggar aturan tertentu sehingga diberi 'teguran'. Sebab, sangat tidak mungkin guru memberi 'teguran', jika murid 'tidak berulah'.
Kedua, orang tua siswa dahulu sadar tentang perbedaan mengajar dan mendidik. Dua hal ini sangat berbeda. Meski sama-sama tugas berat bagi seorang guru. Gampangnya: mengajar itu lebih pada ranah kognitif, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir siswa. Sedangkan, mendidik lebih pada etika, sopan-santun, atau nilai-nilai. Punya unggah-ungguh, istilah di kampung.
Benang merahnya, guru tidak mungkin melakukan 'teguran keras', jika sang murid dalam batas normal. Punya sopan-santun. Ini hanya asumsi, belum ilmiah. Bagi mahasiswa keguruan, pasti sudah paham tentang mengajar dan mendidik.
Ketiga, zaman. Mungkin, zaman juga ikut andil dalam mengubah sudut pandang orang tua siswa. Apalagi, gempuran media sosial (medsos) juga sulit dibendung. Filter informasi seperti tidak ada. Sehingga, informasi yang ada ditelan mentah-mentah, tanpa dikroscek kebenarannya. Akibatnya, cepat dan gampang mengambil kesimpulan dan tindakan, tanpa pikir panjang. Tepatnya mudah mengambil kebijakan saat emosi.
Cukup tiga saja, sudah relatif panjang tulisannya, pembaca bisa lelah bacanya nanti. Jika Anda, para pembaca, punya kemungkinan lain, bisa di-share di kolom komentar.
Guru Hebat Indonesia Kuat
Hari guru tahun ini (25/11), bertemakan: guru hebat Indonesia kuat. Semoga benar-benar direalisasikan wacana: UU khusus guru, yang pernah disampaikan pemimpin negeri ini. Ini sangat penting, agar tema itu tidak hanya jadi simbol, tapi benar-benar terwujud. Sehingga, Indonesia emas yang selalu digaungkan pemerintah, benar-benar tercapai sesuai rencana.
Selain itu, ada hal lain yang tidak kalah penting, soal kesejahteraan guru non-ASN (ASN/P3K), alias guru honorer. Ini harus ada solusi. Beban tugasnya berat, baik tugas pokok maupun tugas tambahan, dan tambahan lain lagi. Apalagi, saat ini, jadi guru 'sangat berisiko', berpotensi berurusan dengan hukum.
Cara paling mudah: bisa mengkopy sistem perusahaan, menerapkan sistem gaji UMR/UMK misalnya. Jika ada kemauan, negara mampu, anggaran pendidikan paling besar. Atau, jika dirasa kurang mampu anggarannya, bisa melakukan efisiensi, pos anggaran yang tidak terlalu penting, dikurangi, dialihkan untuk kesejahteraan guru honorer tadi. Semoga! (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI