Mungkin tidak 'berlebihan', jika ada pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) harus tetap jadi air putih (jernih/ murni). Tidak boleh tercampur, apalagi sengaja dicampur 'gula dan teh', atau 'gula dan kopi'. Pokoknya harus tetap jernih. Murni. Tak boleh berwarna. Apalagi berusaha diwarnai dengan motif tertentu.
Karena tak semua orang suka teh atau kopi tersebut. Terkadang ada yang 'alergi'. Bahkan, ada juga yang dilarang, seperti orang dengan penyakit tertentu, diabetes misalnya. Â Tapi sudah bisa dipastikan bahwa semua orang suka dan butuh air putih. Termasuk semua makhluk hidup di bumi tercinta ini. Bahkan, jika ada, pembenci air sekali pun, tetap butuh pada air putih.
Itulah hebatnya jika kemurnian air masih terjaga. Bisa menyelamatkan semua kehidupan. Penentu berlangsungnya kehidupan. Begitu juga MKRI, jangankan hanya konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dunia pun bisa dijaga sampai kiamat, jika MKRI tetap menjadi air murni. Tidak terkontaminasi 'warna'. Tetap tegak lurus dan setia pada tugas dan wewenangnya, sesuai UUD 1945 pasal 24C ayat (1).
Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P, salah satu pakar hukum tata negara dan mantan Ketua MKRI, atau yang biasa dikenal dengan Mahfud MD, pernah menyampaikan hal penting tentang MKRI dalam sebuah acara talkshow TV nasional. Pria kelahiran Kabupaten Sampang (Madura) ini bercerita, saat baru dilantik menjadi ketua MKRI periode 2008-2013, beliau memberi tiga pesan penting kepada bawahannya (sekjen). Yaitu: jangan mengurusi perkara, jangan berusaha men-service saya, dan jangan pernah mendengar perintah istri saya atau istri hakim-hakim.
Secara garis besar seperti itu inti pesannya. Jika ingin versi lengkap, bisa menonton sendiri di youtube. Tinggal ketik: ILC-robohnya mahkamah kita (bagian 6), nanti akan muncul sendiri. Beliau menjelaskan detail tentang tiga hal tersebut. Mungkin ada yang berpendapat itu berlebihan. Atau, mungkin juga ada yang bilang tidak berlebihan. Semua pendapat itu sah-sah saja. Namanya juga hidup di negara demokrasi, boleh setuju atau tidak. Yang terpenting tetap menjaga sopan-santun, jika berbeda pendapat. Â
Namun, penulis akan mengikuti 'aliran': itu tidak berlebihan. Langkah itu  justru menjadi sikap keharusan seorang pemimpin sebuah lembaga tersebut. Bahasa orang awamnya, Prof. Mahfud MD tahu bagaimana menjaga MKRI agar tetap menjadi air murni tadi. MKRI tidak boleh terkontaminasi dengan kepentingan tertentu, harus tetap setia pada tugas dan wewenangnya, demi menjaga NKRI.
Mungkin, Prof. Mahfud MD tahu bahwa mengemban amanah di MKRI relatif berat 'godaannya'. Bahkan, potensi 'godaan' itu bisa datang dari segala arah. Sehingga, diperlukan benteng yang kokoh agar semua selamat. Alhasil, seperti kata beliau dalam talkshow itu: berakhir selamat.
Jika MKRI tak 'selingkuh', maka akan mudah mencetak pemimpin yang adil dan mensejahterakan rakyat di era demokrasi ini. Karena kualitas pemimpin bisa lebih terjamin. Dipilih murni karena gagasannya, visi-misinya bagus. Bukan karena 'sesuatu'.
Sehingga, semua pihak bisa legowo. Menerima dengan lapang dada, apa pun hasil putusan MKRI, jika terjadi sengketa pemilu. Putusannya sudah sesuai dengan aturan yang ada. Bukan berdasarkan 'sesuatu'.
Sehingga, cita-cita luhur bangsa dan negara ini akan lebih mudah dicapai. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan hanya sekedar 'ritual' saat upacara saja. Tapi benar-benar nyata, dirasakan semua lapisan masyarakat. Indonesia benar-benar berjaya. Â Â