Taqnin didefinisikan pula dengan pengundangan atau pembuatan Undang-undang. Materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih disebut hukum normatif. Ketika hukum fikih tersebut diundangkan oleh negara (DPRA bersama Pemerintah Aceh), maka fikih berubah bentuk menjadi hukum positif.
Produk legislasi dalam konteks Aceh disebut Qanun Aceh. Berdasarkan Qanun Aceh, Nomor 5 Tahun 2011 tentang tata cara pembentukan qanun, Pasal 22, mendefinisikan Qanun Aceh adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRA dengan persetujuan bersama Gubernur yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Dalam konteks Aceh proses legislasi Hukum Jinayat adalah pembuatan aturan atau norma menjadi peraturan perundang-undangan sehingga menjadi hukum positif yang menjadi pedoman para penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini berarti, pengundangan Hukum Jinayat menjadi hukum positif memiliki (memaksa) para pihak (aparat penegak hukum, dan masyarakat) berpedoman pada qanun tersebut. Transformasi asas dan kaidah hukum Jinayat dalam peraturan perundang-undangan menjadikan qanun hukum Jinayat memiliki daya atur, daya ikat, dan daya paksa.
Dengan demikian, legislasi hukum Jinayat Aceh berarti proses pembentukan materi hukum pidana menjadi peraturan perundangan-undangan sebagai pedoman bagi masyarakat dan penegak hukum dalam lingkup hukum pidana nasional. Proses pembentukan direncanakan melalui program legislasi, yaitu sebuah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang atau peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Pada tingkat nasional program legislasi ini disebut Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Pada tingkat provinsi Aceh, program legislasi disebut Prolega (Program Legislasi Aceh) dan program legislasi untuk tingkat kabupaten/kota disebut Prolek.Â
Pada taraf nasional disebut Prolegnas (program legislasi nasional) yang lebih mendorong proses pembentukan Undang-undang, namun Prolega menitikberatkan pada proses penyusunan Qanun-qanun provinsi. Demikian pula dengan Prolek yang akan mendorong Qanun-qanun di tingkat kabupaten/kota di Aceh. Pedoman yang menjadi dasar hukum proses dan mekanisme legislasi Hukum Jinayat di Aceh diatur dalam Bab XXXV; Qanun, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Walikota, termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh. Qanun ini merupakan derivasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka proses legislasi Hukum Jinayat Aceh sesuai dengan prinsip Negara berdasarkan hukum, sebagai teori utama yang peneliti gunakan, di mana Negara menetapkan payung hukum bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan ditetapkan oleh institusi Negara secara rinci dengan menyebutkan pengertian proses legislasi dalam kerangka Negara berdasarkan hukum. Apabila dihubungkan dengan teori legislasi dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan, maka proses legislasi hukum Jinayat Aceh telah melahirkan beberapa pembaharuan proses legislasi terutama pengertian terkait dengan proses pembentukan hukum. Ungkapan Qanun dan Qanun Aceh adalah istilah baru dalam hukum positif di Indonesia. Demikian pula ungkapan pembentukan Qanun.
b. Ruang Lingkup Taqnn Hukum Jinayat AcehÂ
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XVII, memuat Pasal 125, 126 dan 127 tentang syari'at Islam dan pelaksanaannya. Pasal 125 ayat (2) menyatakan, Syari'at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi beberapa hal, antara lain: (1) akidah, (2) syariah dan (3) akhlak. Pasal ini dijelaskan lebih rinci dalam ayat (2) yaitu Syari'at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga/perdata), muamalah (hukum ekonomi), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar dan pembelaan Islam. Pasal 125 ayat (2) di atas, secara tegas menyebutkan ruang lingkup pelaksanaan syari'at Islam yang juga meliputi hukum jinayah (hukum pidana).
Namun berdasarkan Pasal 125 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 di atas memberikan implikasi kewenangan luas bagi Pemerintah Aceh bersama DPRA membentuk Qanun Aceh, baik jenis dan bentuk hukuman dalam muatan materi yang berbeda dengan ketentuan yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan dalam materi muatan pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 15, ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyebutkan materi muatan pidana hanya dapat dimuat dalam; a. Undang-undang. b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pada Pasal 15 ayat (2) menyebutkan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000, (lima puluh juta rupiah). Pada Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan peraturan daerah Provinsi dan peraturan daerah kabupaten/ kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau Pidana Denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.12 Tahun 2011 di atas dikecualikan, karena adanya pasal 241 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan; Qanun mengenai Jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ini.