Sebaiknya setiap propinsi memiliki monitoring center dimana data  dari masing masing daerah dapat diintegrasikan dalam suatu sistem terpadu, karena bencana antar daerah akan berkaitan, misalkan sungai melintas di lintas kabupaten maka kondisi bahaya di hulu akan berpengaruh ke hilir.
Sistem Telemetri untuk monitoring bencana sudah ada di beberapa daerah yang dikelola oleh beberapa instansi, namun belum merata. Hal ini wajar mengingat tingginya biaya investasi dan terbatasnya anggaran, pemerintah wala sebetulnya teknologi telemetri ini sudah semakin terjangkau. Banyak alternatif dengan desain spesifikasi yang bisa disesuaikan  kebutuhan pengguna.
Sistem Peringatan Dini Mandiri Berbasis Masyarakat
Tidak semua daerah telah memiliki sistem monitoring realtime, karena berbagai kendala seperti pendanaan maupun infrastruktur komunikasi data misalkan daerah blank spot atau sulit sinyal. Banyak teknologi sederhana yang bisa diaplikasikan untuk menjadi sumber informasi sistem monitoring bencana.Â
Misalkan untuk curah hujan, pada dasarnya curah hujan diukur dengan banyaknya air hujan yang terakumulasi pada satu satuan luas dinyatakan dalam mm / ketebalan air tergenang.Â
Alat penakar curah hujan berbentuk seperti tabung dengan luasan tangkapan tertentu, air yang masuk dikumpulkan dalam gelas ukur atau menggerakkan sistem jungkit dan dihitung jumlah jungkitnya. Â satu jungkit setara dengan hujan sekian mm. Bentuk dari alat penakar curah hujan standar adalah seperti ini:
Untuk penakar curah hujan manual adalah sebagai seperti gambar berikut:
Penggunaan curah hujan manual untuk peringatan dini akan terkendala level air yang terpantau tidak bisa dipantau setiap saat, sehingga seringkali hanya digunakan untuk mengukur curah hujan harian dengan mengukur banyaknya air dengan gelas ukur.
Saya punya ide, menggunakan Penakar yang ditempatkan di atap rumah, dialirkan dengan selang kecil ke gelas ukur yang sudah ada skala cc nya. Gelas ukur ini ditempatkan ditempat yang mudah dilihat oleh anggota keluarga, desainnya adalah seperti ini:
Selanjutnya sistem ini dikalibrasi dengan menghitung luasan tangkapan (timba atau kaleng), dari air yang terkumpul volumenya bisa diukur luasan genangan untuk satuan luasan timba atau kaleng tersebut ketemulah misal X mm. Dinas terkait bisa membuat alat ini dan mengkalibrasi dengan sistem standar dan mensosialisasikan ke masyarakat.Â
Masyarakat diinformasikan misalnya hujan sekian jam air terkumpul sekian cc digelas ukur maka tindak lanjutnya adalah waspada / persiapan evakuasi, atau bahkan evakuasi mandiri.Â