Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilih Kristiani Memilih Ahok Bukanlah Sebuah Pelanggaran Demokrasi

1 Agustus 2016   08:35 Diperbarui: 1 Agustus 2016   17:17 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam video berdurasi enam menit empat detik tersebuut, Prof. JE Sahetapy menyampaikan:

“Saya satu-satunya yang mengusulkan Amandemen Pasal 6 UUD 1945 dan sekarang syarat Presiden `Presiden ialah orang Indonesia ASLI` telah dihapus.” (Jemaat gereja riuh bertepuk tangan)                

“Percuma pak, kapan kita bisa dapat kedudukan ?,” tanya jamaat. Prof. JE Sahetapy menjawab: “Oh ya? Anda pernah baca Al-Kitab gak? Dalam Al-Kitab disebutkan “Semua itu ada waktunya”. (Jemaat riuh tepuk tangan) 

“Jadi kalau Pak Ahok jadi Gubernur, maka Firman Tuhan itu telah digenapkan,” lanjut Prof. JE Sahetapy yang disambut tepuk tangan.

“Jadi kenapa kita masih ragu-ragu lagi? (untuk memilih dan menjadikan Ahok sebagai gubernur)” tegas Prof. JE Sahetapy.

Transkrip dari video https://youtu.be/Kov-mgr70eU

******

Penulis tidak dalam konteks membenturkan sebuah keyakinan dengan keyakinan yang lain karena  wajib rasanya bagi pemeluknya untuk menggenggam dan berupaya keras menjalankan apa yang menjadi kewajiban sebagai umat. Lagi pula belajar memahamai SARA dengan masuk langsung ke dalam substansinya yakni PERBEDAAN. Nah, bijak rasanya kita mulai melihat dari sudut yang berbeda dan tidak semata memaksakan adanya persamaan.

Tentu sebagian besar pembaca Kompasiana masih mengingat betapa sebagian dari Kompasianer yang aktif menulis seperti memaksakan kehendak bahwa meletakkan isu primordial (baca: latar belakang agama yang dianut seseorang) sebagai langkah-langkah mundur dalam berdemokrasi. Tudingan ini membuat gerah dan menjadikan Kompasiana sempat gaduh dan seperti biasa untuk lalu kemudian menjadi tenang kembali. Namun melihat beberapa kejadian yang sepertinya perlu untuk kembali mengingat dengan utuh, selayaknya seorang muslim kepada muslim yang lain menjadikan isu primordial ini juga berkelindan di umat yang lain. Seperti contoh gambar dibawah ini.

sumber gambar: www.salam-online.com

Bagi non muslim gambar di atas sederhana untuk ditangkap maknanya bahwa Ahok adalah "Anak Tuhan" yang dimaksudkan. Apa salah? Sama sekali tidak dalam sudut pandang rasionalitas dari para pemeluk keyakinan yang dimaksud. Ahok memiliki hak dan peluang yang sama di mata hukum Indonesia. Yang salah adalah saat dimana umat islam menggunakan latar belakang keyakinan untuk menjegal Ahok dikenakan tudingan betapa picik dan tidak demokratisnya Islam dalam memilih pemimpin.

Jadi mulai dan teruskan saja publikasikan ke ranah publik betapa pentingnya memilih pemimpin menggunakan pendekatan religiusitas atau agama sebagai baseline menganggap boleh atau tidaknya seseorang diusung sebagai pemimpin.

Di dalam Islam, Ahok bukanlah apa-apa dan siapa-siapa karena mulut dan tindakannya bak surga dan neraka. Siang beriman lalu malam lupa lagi atau pagi beriman sore maksiat lagi. Pemimpin dengan karakter seperti Ahok adalah pemimpin sebuah misi perompakan. Menjadikan pragmatisme sebagai penghulu keputusan dan meletakkan norma-norma adalah nomor kesekian. Jika ingin mendapatkan inspirasi cobalah untuk menonton beberapa sekuel dari film besutan Holywood the Pirates of Carribean dimana Kapten Jack Sparrow adalah manusia yang paling pragmatis karakternya di film tersebut. 

Sudah kafir, munafik dan inkonsisten pula!

Penulis fikir tajuk ini cocok untuk diajukan sebagai upaya membangunkan beberapa muslim yang masih galau dan gagal sandar kepada sumber primer agama kita yakni Al Quran dan Assunnah. Memilih Ahok bak memilih kunci neraka dan menjadikan surga bak barang tidak bermutu. Bagi Ahok rakyat miskin adalah kotoran mata yang menghapuskan keagungan provinsi ter-wahid ini. Kaum marginal yang didalam islam menjadi tolok ukur kinerja seorang pemimpin betapa tangis dan ketawa mereka adalah indikasi berhasil atau tidaknya seseorang memimpin sebuah wilayah. Rakyat DKI Jakarta yang kerap mengumpati Ahok dan begitu juga Ahok yangjuga kerap mengumbar cacian kepada rakyatnya adalah wujud jauhnya ketenangan dan keteduhan yang seharusnya hadir di Jakarta.

[caption caption="http://m.kompasiana.com/maskusdiono/setelah-muncul-say-no-to-ahok-ahok-akan-hentikan-car-free-day_552feaf96ea834ef668b45c8"]

[/caption]

Untuk itu memulai energi positif dengan senantiasa mempublikasikan betapa pentingnya memilih pemimpin yang sei-iman (baca: muslim memilih muslim) adalah kemutlakan di setiap kontestasi pemilihan kepala daerah. Menyerahkan hal ini kepada logika bengkok seperti "lebih baik memilih kafir tapi tidak korupsi" adalah kekonyolan terburuk sepanjang hidup. Karena mematikan nalar. Mosok dari ratusan juta muslim yang cerdas, ber-integritas, memiliki moral, istiqomah (baca: konsisten) dan visioner tidak kita dapatkan satu-dua calon yang kelak bisa kita pilih sebagai gubernur DKI Jakarta yang baru untuk menggantikan Ahok yang terbukti pro cukong, taipan dan menjadikan kegaduhan sebagai hobby?

Monggo di share ya! SARA bukan barang haram ternyata karena suka dipakai oleh semua kalangan bahkan oleh tokoh pro demokrasi seperti opa Sahetapy.

Salam Pro SARA!

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun