Indonesia terbangun secara nasional. Semua harapan seperti disemai diladang gembur yang subur. Hujan harapan dan keinginan mendapatkan hidup yang lebih baik mengguyur bumi Pertiwi. Barisan-barisan perlawanan kembali ke rumah masing-masing untuk mengambil cangkul dan memulai mematutkan cita-cita.
Hari ini, setelah Setya Novanto mematutkan sikapnya dengan memilih untuk keluar dari tudingan-tudingan ketidakpatutan seharusnya kita membuat tekanan baru betapa Indonesia ternyata belum keluar dari kekalutan dan ketiadaan. Ketiadaan atas nasib rakyat untuk mendapatkan yang lebih baik.
Indonesia tidak membutuhkan kesederhanaan seseorang yang semestinya berlagak jumawa.
Indonesia tidak mengharuskan seseorang untuk mengundang seratusan kemudian menafikan kenyataan di jutaan kilometer terpapar dari penghujung barat hingga ke timur yang kehormatannya dirampas sebagai rakyat.
Indonesia mengharuskan seseorang memenuhi janji-janji untuk inflasi sekian persen, biaya pendidikan sekian persen, pupuk tidak mahal, harga daging sapi terbeli oleh penjual bakso sehingga yang digigit tidak berasa tepung saja.
Indonesia menagih ucapan yang membuat sihir menelusup hingga ke urat nadi dan saat ini memompa ke jantung kesabaran.
Indonesia tidak mempedulikan tuntutan rakyat agar lebih sabar karena puluhan tahun hanya berkutat untuk sekedar hidup makmur dan terhibur.
Jika Soeharto, Sigit Pradi Pramudito dan Setya Novanto dengan sadar memilih untuk mengeluarkan sikap-sikap yang menauladani kita maka sepatutnya pula kita menunggu tauladan tersebut menjadi pilihan mereka yang merasa ladang tidak lagi menginginkan untuk dicangkulnya.
Apalagi sebagai pemilik ide orisinil dari slogan Revolusi Mental
Salam Memerdekan Diri!
Â