Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sesumbar Kampanye Bush, Read My Lips: "No New Taxes!"

29 April 2015   10:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesumbar yang fenomenal ini keluar dari mulut Bush senior saat berkampanye dan menggelorakan pernyataan politiknya di depan para simpatisan dan calon voters. Capres dari Republik ini betul-betul dengan lantang mengatakan tidak akan menaikkan pajak saat menjabat sebagai presiden USA kelak. Pesaingnya dari Partai Demokrat mendapatkan lawan yang luar  biasa dalam mempengaruhi opini dan persepsi. Dalam kampanye dimanapun memenangkan persaingan dalam pemilu secara langsung adalah menggiring persepsi yang sebangun antara capres dan rakyatnya (baca: calon voters). Padahal sesaat menjadi presiden USA, Bush resmi memuntahkan sesumbarnya tersebut.Kemudian, sebagai presiden pada tahun 1990, ia setuju untuk anggaran bipartisan yang meningkatkan pajak. Konservatif melolong, dan kesepakatan ini menenggelamkan kampanye pemilihan ulang George HW Bush di 1992. Sesumbar kampanye atau kemudian dikenal dengan visi-misi dari seorang capres wajib hukumnya untuk ditagih. Tidak perlu memandang sebagai kenyinyiran politis. Dalam hal ini saat kampanye pilpres kemaren kedua capres antara Jokowi dan Prabowo masing-masing menyatakan program dan visi-misi saat memerintah kelak. Untuk Prabowo stop sudah kita diskusikan karena pria yang pernah menjadi Danjen Kopassus ini kalah dalam suara dan menjadikan Jokowi sebagai presiden ke tujuh di negara Indonesia. Dan tentu saja wajib bagi kita, baik yang tidak memilih Jokowi saat pilpres kemaren untuk menagih dan me-recall semua pernyataan politis Jokowi saat berkampanye. Misalnya saja Nawacita (baca: bukan Dukacita) yang digadang-gadang kelak akan menjadi jalur untuk mencapai kemandirian bangsa. Dari sembilan cita-cita yang terbaca sebagai harapan yang di-amini para voters saat di bilik suara memang harus ditagih. Dan tidak perlu menunggu 2 tahun seperti yang diminta oleh Jokowi saat berkunjung ke Jepang. 2-3 tahun bukanlah bilangan yang sederhana, jika betul 2 tahun terimplementasikan dengan sempurna, nah jika tidak? Jika tidak berarti kita telah bermain Russian Roullete. Salah satu Cita yang terlihat malahan menjadi utopis adalah nomor 4 (empat) yang berbunyi seperti ini; "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya" Mari kita lihat apa yang terjadi 6 bulan belakangan ini, mulai dari hiruk pikuk Komjen Budi Gunawan yang semula diusulkan sebagai calon tunggal oleh Jokowi karena sama-sama dari Solo dan titipan dari Ketum PDI Perjuangan yang kemudian ditolak oleh publik dan kemudian digantikan oleh sosok Jenderal Badrodin Haiti. Namun apa lacur, Budi Gunawan yang sudah dipersoalkan oleh publik terkait rekening luar biasa untuk ukuran seorang jenderal yang notabene berpenghasilan hanya belasan juta perbulan malahan didaulat sebagai Wakapolri. Apalagi kasus praperadilan yang dimenangkan oleh terlapor dengan argumentasi yang kelak akan dicatat oleh bangsa Indonesia saat seorang Sarpin yang ditolak oleh adat karena dianggap telah mempermalukan nagarinya sesaat menyatakan BG tidak bisa dianggap sebagai seorang penegak hukum karena yang bersangkutan saat dipermasalahkan oleh KPK tengan menjabat sebagai aparat non penegak hukum (meskipun berseragam bhayangkara) Kemudian dilanjutkan dengan kriminalisasi para pemimpin KPK, mulai dari Bambang Widjojanto dan diakhiri dengan upaya kepolisian membalaskan dendam kesumatnya untuk menjebloskan Abraham Samad kedalam kurungan untuk kasus pemalsuan dokumen pada kasus Feriyani Liem. Cipoak atau glembuk Solo (orang Solo menyatakan tipu daya dengan mulut manis dengan ungkapan glembuk) dari Jokowi memang harus ditegaskan. Tidak perlu takut untuk menyuarakan perlawanan sosial kepada mereka yang berkarakter tukang tipu. Melihat hasil litbang Kompas terkait citra Jokowi melalui polling responden maka didapatkan sebuah gambaran bagaimana persepsi masyarakat kepada pemerintahan Jokowi. Jika pada tiga bulan pertama, citra positif Presiden Jokowi masih berada pada angka 89,9%, kini merosot pada angka 65,2%. Jika dilihat lebih detil, ketidakpuasan paling besar terjadi pada sektor ekonomi dan sektor hukum [caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="sumber gambar: Kompas.com"][/caption]

Seorang Rieke Dyah Pitaloka terlepas adanya kemungkinan kekecewaan karena tidak 'terakomodasi' perjuangan politiknya di dalam kabinet Jokowi tidak seperti seorang Nusron Wahid yang mendapatkan slot kepercayaan dari Jokowi tengah membidik Jokowi agar kembali kepada apa yang pernah dia sampaikan kepada calon pemilih saat berkampanye dulu. “Saya minta maaf kepada teman-teman karena dulu saya mengajak mencoblos Pak Jokowi (sebagai presiden),” kata Rieke saat konferensi pers dengan beberapa elemen buruh di kantor Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Selasa, 28 April 2015. Pemeran Oneng dalam tayangan komedi situasi Bajaj Bajuri di Trans TV itu menilai duet Jokowi-JK gagal merealisasikan janji-janji kampanyenya untuk menyejahterakan buruh. Menurut Rieke, program “Tiga Layak Jokowi” (layak upah, layak kerja, dan layak hidup) tidak pernah direalisasikan pemerintah. Begitulah seharusnya di dalam perspektif publik, kampanye dan saat menjalankan roda pemerintahan adalah kembar identik karena saat meluncurkan cipoak-cipoak politik seharusnya sudah melalui pengukuran kapabilitas dan kinerja oleh tim pemenang pilpres. Dan tidak bisa ngeles seperti Bush Senior yang mengatakan antara kampanye dan pemerintah adalah sesuatu hal yang lain. "No, you are wrong Sir!" Apapun argumentasi dari Jokowi tetap publik memiliki hak untuk memberikan persepsi atau meletakkan citra presiden ini kepada apa yang dia gulirkan untuk rakyat. Persoalan pelantikan BG sebagai Wakapolri, kebijakan harga BBM mengikuti mekanisme pasar (baca: harga keekonomian), luputnya pengawasan terkait anggaran kendaraan mewah yang kemudian dia anulir sendiri (baca: I dont read what I sign) dan beberapa kebijakan yang meletakkan Jokowi kepada persepsi publik bahwa dirinya sepenuhnya tidak berpihak kepada rakyat melainkan kepada kepentingan para stakeholder yang memenangkan dirinya sebagai presiden Indonesia ketujuh. Salam Prihatin! Tautan Inspiratif

  1. http://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prioritas.Jokowi-JK
  2. http://en.wikipedia.org/wiki/Read_my_lips:_no_new_taxes
  3. http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Presiden-Dapat-Memanfaatkan-Dinamika-Politik-yang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun