Hal menarik yang pantas untuk dikupas dan dipublikasikan terkait Jokowi sebagai capres Republik Indonesia ternyata tidak lagi mengenai hobinya yang blusukan ke pasar dan bersalam-salaman dengan warga yang sliweran dikumuhnya pasar tradisional namun terkait intensitas pertemuan Jokowi dengan beberapa perwakilan negara-negara asing seperti duta besar Amerika Serikat, Vatikan (negara teokrasi Katolik), Meksiko dan Myanmar (negara kecil yang saat ini menjadi sorotan dunia terkait aksi barbarianisme dari kaum bhiksu yang membunuh sejumlah warga Myanmar yang beragama Islam).
Jokowi terliha sangat intens dan terlihat antusias melakukan dialog dan upaya-upaya komunikasi dua arah. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi motif dan argumentasi dari kedua belah pihak untuk mengadakan pertemuan?
"Tadi itu di rumah Jacob Soetoyo. Tapi yang undang Bu Meriyana, keluarga besar Jacob Soetojo. Bu Meriyana yang punya yayasan di Cempaka Putih. Pembicaraan banyak, berkaitan geopolitik seperti apa," aku Jokowi di Kediamannya Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, (14/4).
Geopolitik menjadi salah satu topik yang dikupas disela-sela makan malam tersebut. Dan menyibak dari arah tujuan makan-makan sembari membincangkan percaturan perpolitikan tanah air dengan sejumlah negara-negara tersebut dan difalitasi oleh Jacob Soetojo yang juga pernah tercatat dalam barisan dewan pengawas Center of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2005. CSIS adalah lembaga pengkajian kebijakan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia yang juga seringkali dikaitkan dengan think tank-nya dan berkumpulnya para tokoh yang beragama Katolik. Meskipun dalam sejarah panjang Indonesia, CSIS pernah dianggap sebagai bagian orde baru yang menyarankan untuk melakukan kooptasi seperlunya kepada PDI Perjuangan (saat itu masih bernama PDI).
Penulis masih keukeuh dengan pendapat, tidak ada makan siang (atau makan malam) gratis. Semua memiliki harga jual dan tidak for nothing. Jokowi yang datang dan mendiskusikan secara cair dan preview mengenai kelak bagaimana dia memimpin bangsa ini akan tetap membawa pesan-pesan dari sela-sela denting sendok dan perangkat makan pada saat dinner itu. Dan yang perlu dianalisis adalah poin-poin interest dari sekian kepala yang hadir.
Mari kita kupas beberapa kemungkinan latar belakang pertemuan tersebut;
- Dubes Amerika Serikat tentu saja akan menjelaskan perihal kompas yang akan selalu ditawarkan untuk dipakai secara bersama-sama antara Amerika Serikat dengan Republik Indonesia terkait beberapa isu-isu penting. Misalnya mengenai topik pluralisme dan gerakan yang masih mengalir dengan lamban dari beberapa sel-sel jamaah islam dengan pemahaman keras dan puritan. Dan tentu saja, ada tekanan intonasi mengenai nilai dunia global adalah nilai pandang Paman Sam. Tentu saja.
- Dubes Myanmar tentu saja terkait dengan tukar menukar informasi mengenai strategi laju kembang perekonomian kedua negara dan tentu saja meminta Jokowi menafsirkan ulang terkait kekerasan sektarian yang bisa memicu ketegangan dua negara (Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dan terbesar sedunia).
- Dubes Vatikan dan Jokowi akan menimbulkan sebuah justifikasi bahwa orang-orang di belakang Jokowi adalah kelompok fundamentalis Kristen dan Katolik. Seperti diketahui, saat Jokowi meninnggalkan jabatan Wali Kota Solo, ia membuat daerah itu dipimpin oleh seorang Nasrani. Saat nantinya terpilih menjadi Presiden, Jokowi juga membuat DKI Jakarta dipimpin oleh Ahok yang seorang Nasrani. Hal ini bukanlah hidangan penuh nilai melainkan memberikan penilaian yang logis bahwa Jokowi sangat ramah dan melupakan nilai besar Indonesia, yakni masyarakat muslim yang luar biasa populasinya. Apalagi dengan heningnya Vatikan perihal beberapa pelanggaran-pelanggaran yang semestinya patut untuk diberikan perhatian. Vatikan lebih memilih untuk memberikan andil mengenai peliknya pengurusan pembangunan rumah peribatan di Indonesia - terkait pembangunan sejumlah gereja.
Dan yang lebih menarik adalah dengan hadirnya pesohor dan terkenal memiliki fundamentalisme berkeyakinan disekeliling Jokowi.
Misalnya James T Riyadi, pria ini adalah pesohor beragama Kristen dengan pemahaman evangelis yang terkenal di seantero Amerika Serikat sebagai cara berkeyakinan kristiani dengan tingkat islamophobic akut. Lingkaran Riyadi ini bergelut dengan serius di fase awal dari pencapresan Jokowi. Meskipun juga dituding memanfaatkan kemungkinan dan peluang yang menggiurkan pasca dilantiknya Jokowi sebagai presiden Indonesia untuk masa depan dari raksasa bisnisnya. Silahkan mencari sumber informasi dengan tag; monorail DKI Jakarta.
Pun juga mulai berdatangannya para islamophobic dari Katolik. Inisiator makan malam, Jacob Soetojo adalah bagian dari papan atas tokoh-tokoh katolik yang juga mulai merasa gerah dengan intensitas kekariban Jokowi dengan para evangelist. Jacob merasa perlu memberi kesan dan pesan bahwa Jokowi tidak boleh di klaim telah 'sama-sama mengerti' dengan 'keluh kesah' yang disampaikan James ke Jokowi terkait fenomena betapa 'susahnya' membangun gereja di Indonesia. Kasus Siloam di kota santri Padang, mungkin saja telah menjadi highlight dalam diskusi mendalam dengan tim pemenangan Jokowi sebagai calon presiden. Sofyan Wanandi adalah bagian penting lainnya dari upaya-upaya perekatan kesepahaman antara Katolik dengan Jokowi.
Berita yang sempat merebak adanya pengusiran Jokowi oleh Puan di Djakarta Post tidaklah by accident, melainkan sebuah sinyal perlawanan Katolik terhadap kesan yang timbul di media mengenai kedekatan Jokowi dengan Kristen -terutama Evangelis. Gaung bersambut, tim sukses Jokowi merasa perlu memberikan slots yang sama kepada kelompok ini. Dan well done, makan malam telah dinikmati.
Jokowi semakin menimbulkan banyak tanya, dimulai dengan lebih tertariknya dia melakuan approach kepada dunia luar ketimbang membangun sebuah imej positif di tanah air. Megawati yang juga masih kuat memuntir batang leher Jokowi dan memaksakan orientasi Jokowi untuk bergerak mengikuti arus 'perjuangan' Megawati untuk senantiasa meneruskan tradisi memperbaiki citra Indonesia ke dunia luar dan masih mengantongi imej sebagai partai pembela wong cilik menyebabkan begitu banyak impulsi-impulsi yang semakin menjauhkan Jokowi dari meraih pesona para the real voters.
"Langkah ini blunder ideologi. Ideologi PDIP sangat identik dengan Nasionalisme Bung Karno yang tidak mau didikte oleh bangsa asing. Sekarang Mega-Jokowi justru menyerahkan leher partai ke bangsa asing," ujar Pengamat politik Agung Suprio, kemarin.
Ada beberapa yang tidak disadari atau mungkin terabaikan oleh Jokowi bersama tim suksesnya adalah, membangun imej positif dengan beberapa perwakilan asing sejatinya adalah menumpahkan ketanah makanan rakyat bernama soekarnoisme ( go to hell america -mars abadi dari pendiri bangsa tersebut ) dan kesan yang nyelekit umat Islam terkait pertemuannya dengan perwakilan Vatikan. Hal ini harus betul-betul disadari kelak akan membakar 'jumlah suara' dari grass root. Beberapa membangun komunikasi dengan elit NU dan kemudian menikamnya dengan blunder yang tidak semestinya dilakukan.
“Memangnya dunia itu hanya Amerika, Eropa dan Myanmar saja. Kok langsung mengklaim itu dukungan internasional,” ujar mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi, Jumat (25/04/2014). Hasyim merasa anggapan dari tim sukses dan Jokowi sendiri yang memberikan asumsi adanya dukungan dunia internasional terkait pencalonannya sebagai presiden.
"Rasanya kok nggak pas saja gitu lho,” tandas Hasyim. Yes Kyai, anda benar!
Jokowi telah sedemikian rupa memainkan harmoni. Harmoni dari keanekarupaan namun secara implisit malahan menampilkan keanekalupaan. Lupa bahwa Indonesia adalah negara terbesar dengan jumlah mayoritas muslim sunni di dunia. Lupa bahwa betapa masyarakat masih apatis dengan kolaborasi win-loose solution dengan negara-negara asing dan lupa bahwa politik Indonesia adalah politik patriaki.
Politik patronase dimana ketokohan dan sudut pandang nilai jauh melebihi dari sekedar euforia media darling yang kemasan tak lebih dan tak kurang bak handphone keluaran terbaru, dicari dan kemudian beberapa bulan ke depan sudah kuno dan tidak laku lagi dengan harga yang jauh berkurang.
Salam Anti Lupa Diri Bangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H