Surat Terbuka Untuk Kepala Stasiun Manggarai
Assalamu’alaykum pak/bu. Saya Reni Anggraeni. Mahasiswa. Muslimah. Pengguna setia commuter line. Manusia yang menghabiskan hampir 25 menit dari waktunya untuk mengantre agar bisa sholat maghrib di mushollah mini stasiun Manggarai. Saya seorang commuter juga. Berdomisili di Depok namun kuliah di Jakarta.
Saya yang selalu mengikuti perubahan kondisi fisik dari stasiun Manggarai. Mulai dari tahun 2012 saya mulai menjadi anak kereta. Pada saat itu pedagang kaki lima masih diperbolehkan untuk menjajakan dagangannya di dalam stasiun, peron pada khususnya.
Kondisi mushollah pada saat itu hanya seukuran kamar anak kost berbiaya Rp 300 ribu per bulan, dan itu pun dibagi dua antara laki-laki dan perempuannya serta di samping mushollah tersebut terdapat kamar mandi. Tidak layak sebenarnya jika bangunan itu dijadikan tempat sholat.
***
Demikian kutipan dari sebuah surat yang dituliskan kepada Kepala sebuah stasiun KA di Jakarta. Surat yang menguraikan sebuah keprihatinan atas sudut pandang KAI dalam masalah yang kerap terabaikan.
Dengan menyebutkan dirinya juga sebagai seorang commuter  (sebutan bagi para penumpang setia KRL), mahasiswi ini menjelaskan betapa perubahan fisik dari sekian banyak bentuk yang bertransformasi, dimulai dari pelarangan pedagang kaki lima dan menjelma bak mini mall (sebagai ekspresi betapa saat ini stasiun KA sudah berjejer booth-booth atau outlet seperti Starbuck, Seven Eleven, KFC dan beberapa nama waralaba lainnya).
Perubahan tersebut sejatinya telah memanjakan para calon penumpang atau penumpang yang 'tersandera' oleh aktifitas diluar rumah sehingga tidak perlu dipusingkan lagi dengan upaya mengganjal perut atau menambal sementara rasa dahaga sebelum sampai di kediaman masing-masing.
Namun seringkali hal-hal yang urgent dan penting untuk dilihat seperti fasilitas sosial atau ibadah yang kerap terposisikan di sudut kelopak mata. Perubahan dari kumuh menjadi modern dan bergaya urban tidak serta merta membuat para muslim yang menyandang commuter people mendapatkan hak-haknya untuk bisa menunaikan kewajibannya.
Ibadah sholat maghrib adalah waktu yang sangat pendek dan telah menjadi momen rutin dimana terperangkapnya mereka ditengah-tengah kesibukan di area stasiun. Dan dengan ukuran mini yang hanya bisa menampung 20 jamaah akan menyebabkan antrian yang lebih panjang ketimbang antrian pada loket pembelian tiket.
Keluhan yang merutuki betapa Ignatius Jonan terlihat lebay dan berlebihan adalah efek tumpukan dan tumpang tindihnya pemberian ijin kepada sejumlah waralaba. Seperti yang diungkapkan oleh mahasiswi tersebut.