Ini kisah seorang teman yang tengah ‘galau’ atas sebuah kejadian di tempatnya bekerja. Kejadian bermula saat seorang Ibu mencak-mencak di ruang kepala sekolah tempat ia bekerja. Si Ibu ‘dipaksa’ untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah tersebut. Alasannya, sejumlah orangtua siswa mendesak pihak sekolah untuk mengeluarkan kebijakan itu. So, what happened?
“Begini. Si Ibu adalah orang tua dari Ayu, siswi di kelasku. Sikapnya yang berubah-ubah menjadi pertimbangan yang utama. Coba saja perhatikan, awalnya dia memakai pakaian yang biasa saja. Tiba-tiba, penampilan dia berubah memakai burqa lengkap dengan cadarnya. Eh, belakangan.. penampilannya berubah lagi. Dia lepas burqa dan aksesorisnya itu. Dia lebih sering terlihat mengenakan rok mini dan tank top.”
“Subhanallah. Kenapa bisa begitu?” tanyaku penuh telisik.
“Entahlah. Mungkin kisruh di rumah tangganya menjadi penyebab. Dia terancam bercerai dengan suaminya. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya,” jelasnya.
“Ya, iya lah. Kisruh rumah tangga biar saja mereka yang tahu, kita tidak perlu iseng-iseng mencari tahu. Tapi, by the way, kenapa pihak sekolah memaksa Ayu dikeluarkan?”
“Konon, ibunya Ayu murtad,” jawabnya.
“Subhanallah..” aku benar-benar terperanjat mendengarnya.
“Beberapa orangtua siswa lain yang mendengar ibunya Ayu telah murtad mendesak supaya Ayu dikeluarkan. Mereka berpendapat, sebuah sekolah dengan visi islami tidak sepantasnya menerima siswa-siswi dari kalangan nonmuslim..”
“Tapi, apakah Ayu juga ikut murtad seperti ibunya?” sergahku penuh telisik.
“Tidak. Hanya saja, seperti pengakuan Ayu kepadaku, dia sudah tidak lagi menjalankan shalat lima waktu di rumahnya. Apalagi Ayu sendiri tidak pernah melihat ibu dan bapaknya melakukan shalat di rumah.”
“Bapaknya Ayu, apakah juga murtad?” tanyaku lagi.
“Setahuku tidak. Meski memang tampaknya ayahnya Ayu bukanlah muslim yang taat,” jawabnya.
“Kasihan sekali Ayu. Bukankah dia yang tinggal di blok sebelah warung sayur itu?” tanyaku memastikan.
“Betul. Dia siswi kelas empat. Meski tidak pintar-pintar amat, dia anak yang baik dan disenangi banyak teman-temannya. Hanya saja, belakangan ini dia sering terlihat murung dan tidak ceria seperti biasanya. Sepertinya dia terpengaruh oleh apa yang tengah terjadi antara ibu dan bapaknya.”
Aku sejenak terdiam mendengar kisah temanku ini. Temanku pun diam. Sejenak, kami terkubur dalam kesunyian.
“Tapi bukan itu yang menjadi kegelisahanku saat ini,” tiba-tiba temanku memecah kesunyian.
“Apa?”
“Sikap manajemen sekolahku yang hendak mengeluarkan Ayu. Aku tidak habis pikir, kenapa harus Ayu yang menjadi korban? Bukankah dia hanyalah seorang anak kecil yang lugu dan belum mengerti benar kejadian ini? Aku yakin benar dia tidak mengerti apa artinya murtad, apalagi harus memeras otak kenapa ibunya musti murtad. Aku benar-benar tidak habis pikir… bagaimana jika Ayu menjadi tersudut, sedih, dan trauma atas kejadian ini? Dia sudah sangat mengenal teman-temannya. Dia hanyalah anak kecil, anak baik yang…” ucapannya terhenti, nafasnya tersengal-sengal menahan tangis. Aku mendengar suara tercekat memenuhi kerongkongannya. Temanku benar-benar menahan emosi dalam perkataannya.
Aku kembali terdiam. Sesekali isak tangis temanku terdengar. Sesekali pula dia melepas kacamatanya untuk mengusap matanya yang basah.
“Sebagai gurunya, aku menyesali sikap manajemen sekolah jika Ayu benar-benar harus dikeluarkan. Bukankah masih ada opsi lain?” temanku kembali melanjutkan.
“Opsi seperti apa?” tanyaku.
“Ya.. Ayu jangan dikeluarkan. Aku berpendapat, jika manajemen sekolah benar-benar jadi mengeluarkan Ayu, maka sejatinya mereka memiliki andil atas kelangsungan tauhid Ayu. Bisa saja kan, Ayu nantinya jadi ikut agama baru ibunya?”
Aku temanggut-manggut mencoba menelusuri maksud pernyataannya.
“Padahal menurutku, bukankah seharusnya sekolah membiarkan Ayu bersekolah untuk menjaga tauhid-nya, menjaga imannya agar tidak terkontaminasi ajakan ibunya. Menurutku pula, pihak sekolah sebaiknya melakukan langkah-langkah persuasif kepada ibunya untuk kembali kepada Islam. Lagi pula aku melihat ibunya Ayu masih dalam keragu-raguan, apakah harus keluar dari Islam dan sepenuhnya menjadi penganut kepercayaan lain atau sebaliknya..”
“Lho, jadi ibunya belum sepenuhnya murtad?” sergahku.
“Entahlah. Pengakuan ibunya Ayu sih begitu. Dia belum berikrar sepenuhnya. Meski dia sendiri mengaku sudah mulai melakukan ritual ibadah agama barunya itu,” jawabnya. “Tapi…”
“Tapi kenapa?” tanyaku.
“Tampaknya keninginanku ini hanya angan-angan. Manajemen sekolah sepertinya lebih mengakomodir permintaan beberapa orangtua siswa lain. Mereka seolah-olah takut jika orangtua-orangtua siswa ini mengancam akan mengeluarkan anak-anaknya dari sekolah. Mereka juga takut jika visi islami yang diusungnya tercoreng citra buruk karena peristiwa ini,” jawabnya sambil menarik nafas dalam-dalam.
Itulah akhir kisah temanku.
Kami terdiam lama, seolah-olah berpikir apa yang sebaiknya bisa kami lakukan. Apa yang bisa kami lakukan agar Ayu tidak jadi keluar, seperti harapan temanku. Tapi, entahlah. Kali ini kami tidak bisa cepat menemukan jawaban. Biarlah kisah ini terus bergulir, sambil berharap kisah ini ditutup dengan indah.
Jakarta, 15 April 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H