Memang agak aneh, kepintaran harus ditunggu datangnya. Padahal kepintaran itu seharusnya tidak ditunggu, melainkan harus diusahakan dan bahkan dikejar. Seorang mahasiswa datang bersillaturahmi, setelah sekian lama merasa gelisah, karena apa saja yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan studinya sudah dipenuhi, tetapi belum merasa pintar. Is sudah herregeistrasi, membayar biaya kuliah, mengikuti semua kegiatan yang telah dijadwalkan, dan termasuk telah mengikuti ujian, dan hasilnya lumayan bagus. Namun demikian, ia merasakan ada sesuatu yang masih belum terjawasb, yaitu kapan dirinya menjadi pintar. Dari waktu ke waktu, apa yang ada pada dirinya dirasakan masih sama.
Merasakan keadaan yang kurang menyenangkan itu, mahasiswa dimaksud mencoba untuk selalu merenungkan sendiri. Namun sekalipun sudah sekian lama, ternyata belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Ia kemudian mencoba datang menemui saya. Diungkapkanlah semua perasaannya itu. Melalui kuliah yang dijalaninya, ia berkeinginan mengubah keadaan dirinya, yakni agar kelak menjadi pintar atau cerdas.
Untuk menjawab pertanyaan aneh tersebut, saya mencoba untuk balik mengajukan beberapa pertanyaan sederhana kepadanya. Misalnya, selama ini apakah sudah memiliki ketrampilan bahasa Arab dan Inggris sebagaimana yang diharapkan oleh universitas. Saya sampaikan bahwa universitas menghendaki agar mahasiswanya mampu berbahasa asing, dan agar maksudnya itu tercapai maka sudah sekian lama menyelenggarakan pembelajaran Bahasa Arab secara intensif, dan demikian pula bahasaa Inggris. Pertanyaan lainnya, apakah juga sudah menggunakan fasilitas perpustakaan, laboratorim, masjid dan lain-lain secara maksimal.
Pertanyaan lebih lanjut yang saya ajukan adalah, apakah sehari-hari selain menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang diberikan oleh dosen juga telah berinisiatif sendiri mencoba untuk menulis apa yang sedang dipikirkan, terutama terkait dengan bidang ilmu yang dipelajarinya. Selain itu, apakah juga sudah mulai tertarik untuk melakukan pengamatan terhadap kehidupan masyarakat yang terkait dengan bidang yang menjadi konsentrasinya.
Oleh karena pada waktu itu waktunya longgar, saya juga menanyakan apakah selama ini dia pernah mengikuti kegiatan yang terkait dengan pengembangan bidang keilmuannya, misalnya seminar, dialog, diskusi, atau lainnya yang diselenggarakan oleh para mahasiswa atau kelompok lainnya. Pertanyaan lainnya lagi, apakah ia juga pernah mencoba untuk menjalin komunikasi dengan banyak orang yang memiliki minat atau keahlian yang sama dengan bidang ilmu yang menjadi pilihannya.
Berbagai pertanyaan tersebut, ternyata hanya sebagian kecil saja yang dijawab oleh mahasiswa dimaksud secara memuaskan. Dia mengira bahwa ketika sudah menjalankan apa saja yang diprogram oleh kampusnya, seperti mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, dan ujian, akan pintar dengan sendirinya. Padahal, jika demikian itu saja yang dijalankan, hingga kapan pun, mahasiswa tersebut tidak akan menjadi pintar dan apalagi cerdas.
Tentu saja dalam kesempatan itu, saya tidak ingin mengecewakannya, misal dengan menambah pertanyaan lainnya yang harus dijawab. Saya hanya menjelaskan bahwa, agar mahasiswa semakin pintar atau meningkat kualitasnya, maka universitas di mana saja selalu berusaha melengkapi berbagai fasilitas yang diperlukan agar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Misalnya, universitas menyediakan dan meningkatkan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium, berbagai program lainnya yang diperlukan.
Diumpakan sebagai sebuah restoran, maka selalu menyediakan dan meningkatkan kualitas pelayanan bagi pelanggannya. Berbagai menu disiapkan, termasuk meja kursi tempat duduk, dan lain-lain. Dengan cara itu, setiap orang yang datang, dipersilahkan untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Mereka dipersilahkan makan sepuasnya agar menjadi kenyang. Tidak ada bedanya dengan kampus, juga menyediakan dosen, perpustakaan, laboratorium, berbagai program kegiatan , dan lain-lain. Setiap mahasiswa yang datang, dengan maksud belajar agar menjadi pintar, mereka dipersilahkan memanfaatkan semua fasilitas yang ada itu.
Pengelola kampus berpandangan bahwa, sarjana masa depan harus mampu berbahasa Arab maupun Bahasa Inggris. Agar maksudnya itu tercapai maka kampus juga menyelenggarakan program khusus pengajaran kedua bahasa asing dimaksud. Demikian pula, bahwa sarjana harus memahami dan bahkan menghafal kitab suci al Qur�an, maka kampus juga menyediakan fasilitas itu. Sudah barang tentu fasilitas dan program dimaksud seharusnya, dimanfaatkan secara maksimal oleh setiap mahasiswa untuk membekali dirinya hingga menjadi orang cerdas..
Namun umpama para mahasiswa tidak memanfaatkan berbagai fasilitas dimaksud secara maksimal dan bahkan program-program yang dikembangkan oleh universitas justru dianggap membebani mahasiswanya, maka sama halnya dengan seseorang yang masuk ke rumah makan tetapi tidak mau makan oleh karena sedang tidak berselera makan. Orang yang demikian itu, tentu tidak akan kenyang. Jika sikap seperti itu terjadi pada mahasiswa terhadap kampusnya, maka mereka akan lulus, tetapi tidak akan memperoleh hasil apa-apa kecuali ijazah dan gelarnya.
Kepintaran atau kecerdasan tidak akan datang hanya ditunggu, tetapi harus dikejar atau bahkan diburu semaksimal mungkin. Berbagai fasilitas kampus harus dimanfaatkan, bahkan kalau perlu harus mencari tambahan ke manapun dengan berbagai cara. Tatkala belajar di perguruan tinggi hanya dilakukan sebatas tuntutan formalnya, maka hasil yang diraih juga hanya hal yang bersifat formal pula, yaitu lulus, ijazah, dan gelar akademik itu. Selain itu, ya, Walallahu a�lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H