Mohon tunggu...
Filsafat

Menempatkan diri Sebagai Buruh Kepada Tuhan

2 Mei 2015   22:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari Jum�at, 1 Mei 2015, diperingati hari buruh di seluruh dunia. Sedemikian penting posisi buruh di dunia modern, rupanya disadari bahwa tanpa kehadiran mereka, kehidupan sosial dan ekonomi tidak akan berjalan. Namun posisi yang strategis itu ternyata belum menggabarkan imbalan yang diterima itu sepadan. Gaji dan posisi para buruh tidak selalu menyenangkan dan apalagi membanggakan.

Belum lagi, buruh juga tidak sebagaimana majikan, keberadaan mereka seringkali dipandang rendah, ditentukan, dan bukan menentukan. Itulah sebabnya, tidak jarang kita mendengar protes dan bahkan juga demo yang dilakukan oleh para buruh, untuk menuntut kenaikan upah atau kesejahteraan. Buruh di mana-mana, ���apalagi buruh tani di pedesaan dan buruh nelayan di laut, pada umumnya keadaan mereka itu amat memprihatinkan.

Memang perbedaan di dunia ini tidak bisa dihindarkan, selalu ada pihak yang menjadi majikan dan sebaliknya, menjadi buruh. Tentu semua orang menginginkan agar menjadi majikan, dan bukan menjadi buruh. Namun tidak sembarang orang bisa meraih posisi yang lebih beruntung itu. Seorang majikan tidak saja bermodalkan kepintaran dan ketrampilan berusaha, tetapi juga modal, kemampuan memilih jenis saha, pemasaran, membangun relasi, dan juga keberanian menanggung resiko.

Berbeda dengan majikan adalah buruh. Seorang buruh, asalkan memiliki kemauan dan kemampuan bekerja, keuletan, rajin, dan bisa dipercaya, maka tidak terlalu sulit untuk menjadi buruh. Pekerja sebagai buruh sebenarnya bertingkat dan berjenis. Ada buruh yang memerlukan ketrampilan atau keahlian tinggi, tetapi juga sebaliknya, ada buruh yang tidak memelukan ketrampilan. Itulah sebabnya, pendapatan buruh juga tidak selalu sama.

Tulisan ini mengajak untuk sekedar merenungkan tentang buruh dalam kontek lainnya, ialah buruh kepada Tuhan. Buruh kepada seorang majikan, akan berbeda dengan buruh kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Buruh kepada sesama manusia, yang dikenal dengan sebutan majikan, hanya akan memperoleh upah, sebagaimana yang disepakati, jumlahnya tidak pernah besar. Buruh kepada manusia, ��sebagaimana dikemukakan di muka, selain upahnya rendah, status sosialnya diangap rendah. Artinya, bergaji rendah dan sekaligus berstatus sosial rendah pula.

Berbeda dengan buruh kepada majikan, apa yang diperoleh buruh pada Tuhan Yang Maha Kuasa, posisinya semakin tinggi. Siapapun yang semakin serius dan atau sungguh-sungguh dalam mengabdikan diri pada Tuhan, maka derajatnya, baik di hadapan manusia maupun juga di hadapan Tuhan akan semakin tinggi. Dengan demikian maka ternyata, keadaannya berbalik yaitu menjadi buruh pada Tuhan derjatnya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin lama menjadi buruh kepada orang atau majikan, maka posisi atau derajat sosialnya akan semakin rendah.

Buruh kepada Tuhan dilakukan dengan cara memperkukuh keimanan, beramal shaleh, dan berakhlak mulia. Pekerjaan itu bisa dilakukan oleh siapapun dan dalam bidang apapun. Seseorang yang beriman bisa mencari rizki pada lapangan apa saja, asalkan jenis pekerjaan itu halal dan rezki yang diperolehnya juga halal. Demikian pula beramal shalah bisa dilakukan oleh siapa saja dan pada lapangan apa saja, menyesuaikan dengan kemampuan dan keahliannya.

Selain itu, buruh kepada Tuhan, semua perilaku yang ditampakkan selalu mendasarkan pada akhlak mulia, baik yang menyangkut pekerjaan batin atau bati maupun perilaku lahirnya. Lahir dan batin harus sejalan dan sama-sama terpuji. Seseorang disebut batinnya baik adalah manakala yang bersangkutan mampu menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela, seperti dengki, hasut, sombong, permusuhan, dendam, bakhil, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang hatinya baik, perilakunya selalu dihiasi oleh sifat kasih sayang, sabar, ikhlas, tawakkal, rendah hati, dan sejenisnya.

Seseorang yang pada dirinya penuh keimanam, selalu beramal shaleh, dan berakhlak mulia, maka pada hakekatnya adalah telah memposisikan diri sebagai buruh kepada Tuhan. Mereka tidak sekedar buruh kepada sesama manusia dan hanya akan mendapatkan upah dan beresiko sosial rendah, tetapi dengan memposisikan diri sebagai buruh pada Tuhan, maka apapun pekerjaan dan profesinya, akan memperoleh kemuliaan. Bahkan, tatkala berniat menjadi buruh kepada Tuhan, maka dirinya akan jauh lebih mulia dibanding majikan di tempat mereka bekerja.

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah, adalah peran yang amat mulia. Peran itu dapat diwujudkan dalam upaya menjaga keimanannya, beramal shaleh, dan berakhlakul karimah. Itulah setidaknya peran khalifah yang seharusnya dijalankan. Orang yang demikian itu, sebagaimana janji Allah, akan diangkat derajatnya. Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah kita saksikan, bahwa orang yang berperilaku baik, dalam arti mampu menjaga agamanya, maka selalu memperoleh ketenangan hidup, dan kebahagiaan yang sejati. Mereka itulah sebenarnya orang yang mampu menempatkan diri sebagai abdi atau buruh kepada Tuhan. Wallahu a�lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun