Naik pesawat seringkali dianggap sebagai simbol kemewahan atau ciri khas orang kaya. Anggapan ini bukan tanpa alasan dan berkembang seiring waktu, meski kini penerbangan lebih terjangkau dan lebih umum. Mengapa naik pesawat diidentikkan dengan orang kaya? Berikut ini penjeasannya baik dari perspektif sejarah, biaya yang terlibat, hingga preferensi yang muncul dari aksesibilitas dan gaya hidup.
1. Sejarah Perjalanan Udara: Eksklusivitas di Masa Lalu
Ketika penerbangan komersial pertama kali muncul pada awal abad ke-20, layanan ini sangat terbatas dan mahal. Maskapai-maskapai pertama, seperti Pan Am, hanya melayani rute jarak jauh dengan harga yang sangat tinggi, yang otomatis membatasi penumpangnya hanya dari kalangan elit saja. Selain itu, pesawat yang digunakan waktu itu memiliki kapasitas terbatas dan memerlukan perawatan yang intensif, sehingga biaya operasionalnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan transportasi darat atau laut.
Di era tersebut, penerbangan diiklankan sebagai pengalaman mewah. Penumpang disuguhi layanan premium, termasuk hidangan berkualitas tinggi, layanan pramugari yang terlatih, serta tempat duduk yang luas dan nyaman. Dengan demikian, citra "naik pesawat untuk orang kaya" terbentuk dan terus terbawa hingga dekade-dekade berikutnya.
2. Tingginya Biaya Operasional dan Infrastruktur
Pesawat memerlukan infrastruktur yang mahal, mulai dari pembangunan dan pemeliharaan bandara hingga sistem keamanan yang canggih. Bandara internasional, misalnya, membutuhkan peralatan navigasi, fasilitas keamanan, dan tenaga kerja yang jumlahnya besar. Untuk maskapai sendiri, biaya bahan bakar, perawatan, dan biaya kru penerbangan tidaklah murah.
Selain itu, maskapai juga memiliki biaya overhead yang besar seperti pembayaran leasing pesawat, perawatan, hingga lisensi dan asuransi penerbangan yang nilainya tinggi. Biaya-biaya ini diturunkan kepada penumpang dalam bentuk harga tiket. Semakin panjang rute penerbangan dan semakin premium layanan yang diberikan, semakin tinggi pula harga tiket, yang pada akhirnya membuat banyak orang mengaitkan naik pesawat dengan kekayaan.
3. Fenomena Maskapai Berbiaya Rendah (Low-Cost Carrier)
Seiring perkembangan waktu, munculnya maskapai berbiaya rendah (LCC) pada era 2000-an telah mengubah anggapan bahwa naik pesawat hanya untuk orang kaya. Maskapai seperti Southwest, Ryanair, Lion Air, dan AirAsia menawarkan penerbangan dengan harga jauh lebih murah dengan menghilangkan banyak layanan tambahan, seperti makanan gratis dan bagasi tanpa biaya tambahan. Hal ini memungkinkan orang dari berbagai kalangan untuk mengakses penerbangan, khususnya di rute-rute domestik atau jarak dekat.
Meski demikian, stigma bahwa naik pesawat identik dengan kemewahan masih bertahan, terutama pada penerbangan jarak jauh atau kelas bisnis. LCC umumnya hanya berfokus pada rute pendek dan penerbangan point-to-point, sedangkan rute-rute panjang tetap lebih mahal dan biasanya dilayani maskapai-maskapai full-service.
4. Status dan Prestise dalam Masyarakat
Di beberapa negara, terutama negara berkembang, naik pesawat sering kali dianggap sebagai pencapaian atau kemewahan tersendiri. Orang yang bisa bepergian dengan pesawat dianggap memiliki status ekonomi yang lebih baik, terutama jika tujuannya adalah perjalanan wisata atau bisnis ke luar negeri. Bagi sebagian orang, membagikan pengalaman naik pesawat, khususnya penerbangan internasional, seringkali menjadi bagian dari pencitraan diri yang dianggap eksklusif.
Selain itu, banyak orang merasa bahwa naik pesawat adalah simbol kemapanan. Tidak semua orang bisa atau ingin mengeluarkan uang yang besar untuk perjalanan, dan bagi sebagian orang, pilihan ini lebih kepada "gengsi" daripada sekedar alat transportasi.
5. Kelas Bisnis dan First Class: Simbol Kemewahan di Udara
Maskapai penerbangan kini menyediakan layanan first class atau business class yang identik dengan kenyamanan dan kemewahan tinggi. Pada kelas ini, penumpang bisa menikmati layanan seperti kursi yang bisa direbahkan menjadi tempat tidur, hidangan gourmet, lounge khusus, hingga layanan pribadi. Harga tiket kelas ini dapat berkali-kali lipat dari tiket ekonomi, bahkan mencapai ratusan juta rupiah untuk penerbangan jarak jauh.
Kelas-kelas ini, yang umumnya hanya dapat diakses oleh kalangan ekonomi menengah ke atas atau kalangan profesional dengan perusahaan yang menanggung biaya perjalanan mereka, semakin memperkuat anggapan bahwa naik pesawat merupakan kemewahan yang tidak terjangkau semua orang.
6. Faktor Kenyamanan dan Waktu
Bagi orang-orang dengan mobilitas tinggi, seperti pengusaha atau profesional yang sering melakukan perjalanan bisnis, pesawat adalah pilihan utama karena efisiensi waktu. Kendaraan lain seperti mobil atau kereta mungkin memerlukan waktu lebih lama, sedangkan pesawat mampu mempersingkat waktu perjalanan secara signifikan. Orang kaya cenderung lebih menghargai waktu, dan naik pesawat menjadi cara efektif bagi mereka untuk mengoptimalkan waktu dan kenyamanan.
7. Aksesibilitas yang Masih Terbatas di Beberapa Wilayah
Di banyak negara berkembang, bandara dan layanan penerbangan tidak merata. Hanya kota-kota besar yang memiliki bandara internasional dengan frekuensi penerbangan yang tinggi, sedangkan di kota kecil atau daerah terpencil, akses penerbangan masih sangat terbatas. Hal ini membuat naik pesawat menjadi sesuatu yang tidak umum, dan hanya orang dengan daya beli lebih yang bisa mengakses penerbangan dari atau ke kota tersebut.
Di beberapa wilayah, kurangnya infrastruktur dan biaya yang mahal menyebabkan penerbangan tetap menjadi transportasi untuk kalangan yang mampu saja. Situasi ini masih terjadi hingga saat ini di beberapa negara, termasuk Indonesia, terutama untuk rute-rute tertentu yang tidak dilayani maskapai berbiaya rendah.
8. Dampak Sosial Media dan Budaya Modern
Sosial media memainkan peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang gaya hidup. Naik pesawat, terutama penerbangan jarak jauh atau perjalanan internasional, sering kali dipamerkan di media sosial sebagai simbol status dan gaya hidup yang eksklusif. Banyak influencer atau tokoh terkenal yang mengunggah perjalanan mereka di pesawat, terutama kelas bisnis atau first class, sehingga menciptakan kesan bahwa penerbangan adalah bagian dari gaya hidup mewah.
Bahkan untuk kalangan ekonomi menengah, naik pesawat menjadi hal yang ingin dibagikan dan dipamerkan di media sosial. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi persepsi masyarakat tentang naik pesawat sebagai sesuatu yang "wah" atau mahal.
Jadi, anggapan bahwa naik pesawat adalah untuk orang kaya memang telah berubah seiring perkembangan maskapai berbiaya rendah dan aksesibilitas penerbangan yang lebih luas. Namun, stigma tersebut tidak sepenuhnya hilang. Naik pesawat tetap dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif karena sejarahnya yang mahal, layanan premium di kelas bisnis dan first class, serta faktor gengsi yang masih melekat di masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya aksesibilitas, diharapkan persepsi ini akan bergeser dan orang dari berbagai kalangan bisa menganggap pesawat sebagai transportasi yang praktis, bukan semata-mata sebagai kemewahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI