5. Nzabamwita, pelaku kejahatan (berbaring di belakang) bersama Kampundu, korban kejahatannya. Nzabamwita: “Saya merusak dan menjarah propertinya. Saya menghabiskan waktu sembilan setengah tahun di penjara. Saya telah dididik untuk membedakan apa yang baik dan yang jahat sebelum dibebaskan. Ketika saya boleh pulang ke rumah, saya berpikir tentunya akan baik halnya untuk mendekati orang yang kepadanya saya pernah berbuat jahat, dan meminta maaf kepadanya. Saya mengatakan bahwa saya akan mendampinginya, dengan segala cara di masa penyelesaian ini. Ayah saya sendiri terlibat dalam pembunuhan anak-anaknya. Ketika saya menyelami bahwa orang tua saya telah berperilaku jahat, kepadanya saya memohonkan maaf pula.” Kampundu: “Suami saya bersembunyi, orang-orang memburu dan membunuhnya pada hari Selasa. Pada Selasa berikutnya, mereka datang kembali dan membunuh kedua anak laki-laki saya. Saya berharap anak-anak perempuan saya akan selamat, tapi kemudian orang-orang itu membawa mereka ke desa suami saya dan membunuh mereka di sana serta melemparkan mayatnya ke dalam jamban. Saya tidak bisa mengangkatnya dari lubang itu. Saya berlutut dan berdoa bagi mereka, bersama adik laki-laki saya, dan menutupi jamban itu dengan kotoran. Alasan saya memberikan maaf karena saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah memperoleh kembali orang-orang yang saya cintai itu. Saya tidak bisa hidup sendiri di dalam sepi—kalau saya sakit, siapa yang akan menunggui saya di sisi tempat tidur saya, dan jika saya dalam kesulitan serta membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menyelamatkan saya? Karena itu, saya lebih suka memaafkan.” Sumber: New York Times, nytimes.com.