Mengapa Tax Ratio Penting bagi Indonesia?
Peningkatan tax ratio Indonesia menjadi 23% merupakan salah satu target ambisius yang dicanangkan oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Tax ratio yang menggambarkan persentase penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi indikator penting dalam menilai efektivitas sistem perpajakan suatu negara. Namun, capaian tax ratio Indonesia dalam satu dekade terakhir menunjukkan tren fluktuatif dengan kecenderungan menurun. Meskipun ada tanda-tanda pemulihan dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk mencapai target tersebut memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Peningkatan tax ratio tidak hanya penting untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga sebagai fondasi untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial secara merata di seluruh Indonesia.
Tren Tax Ratio: Refleksi dan Perbandingan Regional
Pada tahun 2013, tax ratio Indonesia tercatat sebesar 11,90%, namun mengalami penurunan bertahap hingga titik terendah sebesar 9,90% pada tahun 2017. Pandemi COVID-19 semakin memperburuk situasi, dengan tax ratio turun menjadi 8,30% pada tahun 2020. Setelah periode tersebut, ada pemulihan bertahap hingga mencapai 10,31% pada tahun 2023. Namun, angka ini masih jauh di bawah beberapa negara ASEAN seperti Thailand (17,18%) dan Vietnam (16,21%). Perbandingan tax ratio di kawasan ASEAN menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara Indonesia dan negara-negara dengan tax ratio yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan perlunya reformasi yang lebih sistematis dan berkelanjutan dalam sistem perpajakan Indonesia. Thailand berhasil meningkatkan tax ratio dengan penerapan kebijakan yang inklusif, modernisasi administrasi perpajakan, dan penguatan regulasi yang mendukung.
Penting untuk memahami bahwa rendahnya tax ratio Indonesia bukan hanya disebabkan oleh satu faktor tunggal, tetapi merupakan hasil dari kombinasi berbagai tantangan struktural, teknis, dan budaya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret untuk mengatasi hambatan tersebut melalui kebijakan yang terukur dan pelaksanaan yang konsisten.
Tantangan Besar: Ekonomi Informal dan Dampaknya pada Pajak
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, sebanyak 57,95% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor ekonomi informal. Meskipun sektor ini berkontribusi signifikan terhadap PDB dan membuka lapangan kerja, aktivitas ekonomi informal sering kali tidak tercatat dalam sistem perpajakan. Penyebab utamanya meliputi rendahnya literasi perpajakan, keterbatasan akses ke layanan keuangan formal, dan regulasi yang rumit. Ekonomi informal juga sering kali tidak memiliki sistem pencatatan keuangan yang memadai sehingga sulit untuk diintegrasikan ke dalam sistem perpajakan formal. Banyak pelaku usaha kecil yang merasa terbebani oleh kewajiban perpajakan yang kompleks sehingga memilih untuk tetap berada di sektor informal.
Solusi untuk permasalahan ini memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pemerintah harus memfasilitasi penyederhanaan regulasi perpajakan bagi pelaku usaha kecil, penyediaan akses keuangan yang inklusif, edukasi dan pelatihan perpajakan, serta penyusunan kebijakan insentif bagi usaha kecil yang mau beralih ke sektor formal. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital untuk mempermudah pembayaran pajak juga harus dioptimalkan. Dengan strategi ini, diharapkan lebih banyak pelaku usaha informal yang dapat diintegrasikan ke dalam sistem formal.
Kepatuhan Pajak: Tantangan dan Solusi yang Diperlukan