Mohon tunggu...
I Made Nararya Dhananjaya
I Made Nararya Dhananjaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Undiksha

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Makna Galungan dan Kuningan

18 Juni 2022   20:55 Diperbarui: 18 Juni 2022   20:57 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi

Kebudayaan merupakan ciri khas atau identitas suatu kelompok masyarakat. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk bangga akan keberagaman yang dimilikinya. Beragamnya suku, agama, serta ras menjadi awal beragamnya kebudayaan serta adat istiadat yang dijunjung tinggi. Kebudayaan yang bangsa kita miliki saat ini sejatinya merupakan perkembangan dari kebudayaan yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Sebagai salah satu contoh sekaligus ciri khas yang selalu diingat masyarakat umum ketika mendengar kata "Bali" ialah upacara Ngaben. Tradisi ngaben atau pembakaran mayat merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali terhadap seseorang yang telah meninggal dunia. Ngaben sudah ada sejak zaman dahulu dan tetap berlaku hingga kini dengan sedikit proses modernisasi. Dapat kita lihat dalam cerita Mahabharata yang dahulu sempat digemari masyarakat Indonesia hingga tayang pada salah satu stasiun televisi swasta tepatnya ketika peperangan hari pertama telah usai. Digambarkan baik pasukan maupun panglima yang gugur semasa berperang diberikan upacara terakhir sekaligus melebur badan halus dengan badan kasar melalui jalan pengabenan atau pembakaran menggunakan api. Dalam ajaran Hindu, Dewa Brahma sebagai Dewa pencipta diwujudkan ke dalam bentuk api. Tujuan dilakukannya pembakaran dalam upacara Ngaben merupakan sebuah proses penyucian roh agar bisa kembali ke Sang Pencipta. Api melalui cahayanya dipercaya menerangi jalan roh menuju alam berikutnya serta membakar semua kotoran-kotoran yang melekat semasa hidupnya.

Tidak hanya masyarakat Hindu khususnya di Bali, umat beragama lainnya juga memiliki tradisinya tersendiri yang turun temurun baik karena normanya, nilai-nilainya maupun kewajibannya. Meskipun pengemasan tradisi tiap ajaran berbeda, tentunya tujuan yang ingin dicapai tetaplah sama yaitu mencapai kebenaran. Mengerucut dengan lebih spesifik membahas pada tradisi yang dimiliki oleh umat Hindu di Bali, pembahasan kali ini akan berorientasi pada perayaan Hari raya Galungan dan Kuningan. Upacara Galungan dan Kuningan secara umum digambarkan sebagai masa kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan). Sedikit perbedaan antara Galungan dengan Kuningan terletak pada makna perayaannya. Galungan diperingati untuk menyambut turunnya dewa dan leluhur ke bumi untuk menemui keluarganya, sedangkan Kuningan diperingati sebagai hari kembalinya para dewa dan leluhur ke surga setelah bertemu keturunannya. Pernyataan tersebut menjadi bukti mengapa proses persiapan Galungan lebih kompleks serta rumit dari pada persiapan Kuningan.  Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga memiliki nama lain yakni dungulan yang berarti menang. Akibat kesamaan makna antara Galungan dengan Dungulan, maka dalam penanggalan Jawa dan Bali Galungan atau Dungulan jatuh pada wuku ke-sebelas. Perayaan hari raya Galungan pertama kali di Bali menurut Lontar Purana Bali Dwipa terjadi pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Oton atau Otonan dalam ajaran Hindu di Bali merupakan perayaan hari kelahiran menurut penanggalan Bali, namun hal tersebut bukan berarti bahwa Gumi atau Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan melainkan hari itulah yang ditetapkan sebagai hari untuk menghaturkan maha suksemaning, angayubagia, serta syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.

Sedikit sejarah mengenai hari raya Galungan berawal dari kisah seorang raja sakti keturunan raksasa bernama Mayadenawa yang pada saat itu memerintah jagat Bali. Mayadenawa adalah seorang raja yang kejam, tidak terkalahkan, dan menganggap dirinya adalah Dewa yang patut disembah oleh rakyatnya. Kesaktian itu dia dapatkan dari ketekunannya menyembah dan memohon kepada Dewa Siwa. Namun ketika permohonannya terkabulkan, ia seketika menjadi angkuh nan sombong. Mayadenawa tidak segan untuk melarang rakyatnya menyembah Dewa dan menghancurkan pura-pura yang ada. Kehidupan masyarakat di masa itu selalu dihantui rasa takut bahkan hidup sengsara. Keberhasilan Mayadenawa menghancurkan pura-pura diketahui oleh seorang pendeta bernama Mpu Sangkul putih yang merupakan Pemangku Agama di Pura Besakih. Melihat situasi pura serta rakyat yang penuh akan kehancuran, beliau memutuskan melakukan semadi guna memohon petunjuk dari para Dewa. Berkat ketulusan tapa beliau, diutuslah Dewa Indra beserta pasukannya guna menumpas Mayadenawa. Perbedaan kemampuan serta kekuatan yang dimiliki, membuat Mayadenawa terbunuh sehingga peperangan pun dimenangkan oleh pihak Dewa Indra. Kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa menjadi simbol kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) atau yang dikenal sebagai Hari Raya Galungan. Mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa akar permasalahan kasus ini ialah berasal dari Tuhan. Tuhan memberikan kesaktian kepada seseorang tanpa memahami maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Tuhan sejatinya Sang Maha Tahu, namun dalam hakikatnya beliau tetap menjalankan hak dan kewajiban-Nya. Hak yang dimaksud disini ialah Beliau berhak menentukan kelangsungan hidup segala makhluk ciptaan-Nya, sedangkan kewajiban-Nya ialah mengabulkan permohonan umat-Nya sesuai dengan Yadnya yang diperbuat. Dalam cerita di atas, anugerah yang diterima Mayadenawa dan Mpu Sangkul putih sama-sama merupakan hasil dari ketekunan untuk senantiasa menyembah dan mengingat Tuhan. Tuhan dalam kondisi tersebut berperilaku adil terhadap penganut-Nya dengan menjalankan kewajiban-Nya untuk mengabulkan permohonan penganut-Nya akibat dari terpenuhinya Hak beliau yakni selalu diingat dan diagungkan.

Terlepas dari sejarah munculnya Upacara Galungan, rangkaian Upacara galungan ternyata dimulai beberapa minggu sebelum Hari Raya Galungan dilaksanakan sebagai puncak dari perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Rangkaian Upacara Galungan dimulai dengan Upacar Tumpek Pengarah atau yang lebih dikenal dengan nama Tumpek Bubuh. Tumpek Bubuh jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Upacara Tumpek Bubuh ditujukan kepada Dewa Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan melalui persembahan sesajen pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan. Prosesi Upacara Galungan kemudian dilanjutkan dengan dua (2) macam Sugihan yakni Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Sugihan berasal dari urat kata "Sugi" yang artinya membersihkan. Sugihan Jawa merupakan kegiatan penyucian bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang sesuai dengan namanya Jawa atau Jaba yang artinya luar. Tidak hanya lingkungan sekitar yang wajib dibersihkan, badan fisik kita juga wajib untuk dibersihkan sebagai wadah bagi tubuh halus atau Sang jiwa yang kita miliki.  Sedangkan Sugihan Bali, dalam Bahasa Sansekerta kata "Bali" memiliki arti kekuatan yang ada di dalam diri. Sugihan Bali memiliki makna penyucian diri atau rohani yang terdiri dari ahamkara, manah, buddhi, chitta, dan indriya. Setelah serangkaian Upacara Sugihan, prosesi Galungan dilanjutkan dengan Upacara Panyekeban dan Penyajaan. Upacara Panyekeban memilki makna pengendalian indriya dari pengaruh negatif yang jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan. Pada hari ini diyakini sebagai hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Umat Hindu diharapkan untuk melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua indriya tidak jatuh ke dalam kubangan dosa. Tahap berikutnya adalah Penyajaan yang jatuh sehari setelah Upacara Panyekeban atau tepatnya Senin Pon Dungulan. Pada hari tersebut, umat Hindu diajak untuk dapat memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah melalui Tapa Samadhi.

Rangkaian Upacara Galungan yang paling sering diingat masyarakat umum diantaranya Penampahan, Galungan, serta Umanis Galungan. Penampahan berasal dari kata "tampa" yang artinya menerima atau menyambut dengan menancapkan Penjor Galungan sebagai lambang kemakmuran jagat. Kata "Penampahan" juga memiliki makna lainnya apabila ditarik dari kata "tampah" yang artinya sembelih. Menyembelih hewan selain sebagai korban suci atau Yadnya yang akan dihaturkan di saat Hari Raya Galungan, kegiatan menyembelih juga bertujuan untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni Mabyakala dengan memangkas sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita, bukan semata-mata membunuh hewan untuk korban suci. Perlu digaris bawahi musuh sebenarnya ada di dalam diri bukan di luar termasuk sifat hewani tersebut. Keesokan harinya setelah pelaksanaan penampahan pada Anggara Wage Galungan, Budha Kliwon Galungan menjadi puncak dari pelaksanaan Upacara Galungan. Pada hari tersebut umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan dharma terhadap adharma. Hari tersebut juga dimaknai sebagai perayaan atas keberhasilan dalam mengatasi semua godaan selama perjalan hidup dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta mencapai ananda atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka. Setelah merayakan kemenangan, manusia merasakan nikmatnya kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan dan suka cita. Suasana penuh kebahagiaan ini diperingati pada Wrehaspati Umanis Galungan yang sekaligus dikenal sebagai Upacara Umanis Galungan. Rangkaian penutup dari Upacara Galungan sebelum memasuki Upacara Kuningan adalah Upacara Pamaridan Guru. Upacara yang diperingati pada Saniscara Pon Dungulan dimaknai sebagai hari dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugerah berupa kadirghayusan dan waranugraha.  

Seminggu setelah Upacara Pamaridan Guru atau sepuluh hari setelah perayaan Hari Raya Galungan, pada Saniscara Kliwon Kuningan ditetapkan sebagai Hari Raya Kuningan. Kuningan dimaknai sebagai tonggak kembalinya para dewata dan roh suci leluhur menuju kahyangan atau stana-Nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka (alam surga). Kuningan merupakan hari kasih sayang yang dilaksanakan dengan pitra puja untuk mendoakan dan menghatarkan para leluhur semoga senantiasa ada dalam kedamaian di mana pun tingkatan alam yang dicapainya sekarang. Pada hari ini dibuat nasi kuning, dengan warna kuning sebagai lambang kemakmuran. Pada hari ini diyakini para Dewa, Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja, sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya sampai tengah hari saja. Umat Hindu meyakini sebelum siang hari energi alam semesta seperti kekuatan pertiwi (bumi), akasa (ether), apah (air), teja (cahaya) dan bayu (udara) mencapai puncaknya. Setelah siang hari memasuki masa pralina (peleburan) yang mana kelima energi tersebut sudah kembali ke asalnya, dan juga para Pitara (leluhur), Bhatara dan Dewa sudah kembali ke nirwana. Upacara terkahir tidak hanya sebagai penutup rangkaian Upacara Kuningan, namun sebagai lambang berakhirnya hari suci Galungan dan Kuningan adalah Upacara Pegat Uwakan. Upacara Pegat Uwakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang tepatnya sebulan setelah galungan. Pada hari ini dilakukan persembahyangan dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar serta abunya ditanam di pekarangan rumah.

Kebudayaan sebagau ciri khas atau identitas suatu kelompok masyarakat patut dilestarikan dan dibanggakan. Salah satu tradisi yang umat Hindu miliki adalah Hari Raya Galungan dan Kuningan. Hari raya ini diperingati sebagai perayaan kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan). Hari raya yang jatuh setiap enam (6) bulan sekali merupakan sebuah tolak ukur sejauh mana kita mampu melawan unsur-unsur Adharma baik dari luar maupun dalam diri. Hari raya ini pula merupakan kesempatan untuk mempererat tali persaudaraan serta mendekatkan diri kita kehadapan Tuhan dan para leluhur, karena pada perayaan hari ini para Dewa, Bhatara, dan Leluhur dipercaya turun ke bumi.

Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun