Mohon tunggu...
I Made Darmayasa
I Made Darmayasa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis buku sejak tahun 1980-an, pernah sebagai kolumnis beberapa media

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berkah Datang ketika Kita Berpikir Positif

22 Agustus 2021   10:46 Diperbarui: 22 Agustus 2021   10:50 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

yasya sneho bhaya tasya

sneho duhkhasya bhjanam

sneha-mlni duhkhni

tni tyaktv vaset-sukham 

(Cakya Nti stra 13.6)

"Di mana ada cinta di sana ada ketakutan, cinta adalah tempat bagi kedukaan, dan cinta juga yang merupakan permulaan dari segala kedukaan. Oleh karena itu, tinggalkan segala kecintaan itu dan mantaplah dalam kesukaan."

Kebanyakan orang mempraktikkan sepenggal cinta, bukan cinta yang sebenarnya dan seutuhnya. Cinta yang sepenggal itu hanyalah sebuah ketertarikan dan keterikatan duniawi biasa. Kalau anak muda bertemu lawan jenisnya, bergaul beberapa waktu, maka mereka akan mengatakan "I love you..."  

Kalau sesama jenis bertemu, lalu berteman baik, mereka juga mengatakan "I love you.." Orang tua bila bertemu dengan anaknya yang jarang dijumpai juga akan mengatakan "I love you...". 

Hubungan persaudaraan yang dekat dengan kerabat maupun teman juga tak dipungkiri akan terlontar ungkapan , "I love you..." Mereka semua bergaul akrab dan lengket satu sama lain 'di dalam cinta' sesuai dengan apa yang mereka artikan.

Sering terdengar bila pasangan atau teman kita berkata atau berbuat sesuatu yang tidak memuaskan diri kita atau melakukan sesuatu yang tidak kita setujui lantas dengan mudahnya kita mengatakan "You didn't love me...!!" atau akhirnya menjadi "I hate you ...!!"

Ketika batas ketidaksetujuan atau ketidaksinambungan satu sama lain semakin melebar dan membengkak, akhirnya semua bisa berubah menjadi permusuhan dan tidak jarang diakhiri dengan "pesta darah". Mereka siap mengakhiri "cinta"-nya dalam pembantaian. 

Saling bunuh satu sama lain. Inilah cinta di mata dunia. Sebuah ketertarikan yang dibesar-besarkan menjadi cinta. Karena awal dari cinta tersebut hanya pada ketertarikan duniawi semata yang akhirnya terjadilah keterikatan yang semakin ketat..., semakin ketat.., dan semakin erat mengikat yang bersangkutan sehingga ia tidak lagi mampu mengenali diri sejatinya dan tidak bisa bergerak sama sekali untuk mau mengarahkan dirinya ke jalan spiritual.

Keterikatan menimbulkan amarah. Kemarahan muncul diawali perenungan pada obyek-obyek indria, lalu secara perlahan-lahan ikatan terhadap obyek-oyek indria menjadi berkembang. Dari keterikatan pada objek-objek indria berkembanglah hawa nafsu, dan dari nafsu kemudian timbullah amarah. 

Selanjutnya dari amarah, timbullah khayalan, dan akhirnya khayalan menyebabkan ingatan bingung. Bila ingatan bingung, kecerdasan akan menjadi hilang lenyap, dan sesudah kecerdasan hilang lenyap maka dengan pasti seseorang akan jatuh ke dalam lautan kesengsaraan material (krodhd ... praayati).

Keterikatan kita pada hal-hal duniawi, khususnya cinta duniawi yang kita bicarakan di sini, menyebabkan timbulnya nafsu untuk memiliki yang kita cintai itu, ia bisa lawan jenis, bisa uang dan benda-benda duniawi lainnya, atau bahkan nama dan jabatan. Ketika keinginan untuk memiliki tidak tercapai maka timbullah amarah, kebencian, dan dendam. Dari sini muncullah keinginan-keinginan yang tidak wajar. 

Orang kehilangan akal dan logikanya. Perilakunya tidak terkontrol. Ia tidak akan melihat dan tidak akan mau melihat dirinya bersalah dan/atau ambil bagian bahkan barangkali "pelaku" utama dari sebuah kejadian yang tidak menyenangkan dalam pergaulannya. Inilah yang kemudian menbawanya jatuh, menjauh dari kehidupan spiritual. Sebab, hal-hal spiritual tidak bisa dibeli dengan "aku benar kau salah".

Orang yang mampu membebaskan dirinya dari segala ikatan duniawi, termasuk rasa tidak suka, dan memiliki kesanggupan untuk mengendalikan indria-indria untuk tidak terikat pada hal-hal duniawi maka ia dapat memperoleh karunia sepenuhnya dari Tuhan.

Kewajiban orang adalah menjaga kesadaran yang seimbang terhadap datang-perginya orang, datang-perginya uang, jabatan, dan lain-lain. Ketika uang, jabatan, atau orang datang, kita cakupkan tangan disertai senyum dan hati yang tulus. 

Ketika orang pergi, kita juga cakupkan tangan dengan senyum dan hati yang tulus pula. Barangkali hati kita terganggu, karena kita sudah lama dalam pergaulan cinta kasih dengan mereka namun ketika mereka pergi meninggalkan kita, maka sewajarnya hati merasa sedikit teriris. 

Akan tetapi, keterikatan berlebihan tidak akan ada karena sudah diisi oleh keterikatan akan kasih Tuhan yang Maha Esa. Yang lain selain Tuhan tidak bisa lagi mengambil keterikatan tersebut.

Maharesi Cakya menekankan bahwa cinta duniawi yang tidak terkontrol bisa mendatangkan kedukaan. Di mana ada cinta di sana ada ketakutan, cinta adalah tempat bagi kedukaan, dan cinta juga yang merupakan permulaan dari segala kedukaan. Oleh karena itu, tinggalkanlah segala kecintaan itu dan mantaplah dalam kesukaan. 

Disebutkan, bandhya ... kraam bandha-mokayo, pikiran yang amat terikat pada obyek kepuasan menyebabkan ikatan, dan pikiran yang tidak begitu terikat pada obyek kepuasan menyebabkan pembebasan. Artinya, pikiranlah yang menyebabkan manusia terikat dan pikiran pula yang menyebabkan manusia mencapai pembebasan.

Pikiranlah yang menyebabkan keterikatan dan pembebasan, maka pengendalian pikiran memang harus dilakukan oleh semua yang menginginkan kebahagiaan. 

Orang tidak perlu mengatakan atau berpikir negatif terhadap diri sendiri maupun pada orang lain. Negatif tetap negatif. Lebih baik mengatakan hal yang positif baik untuk diri sendiri apalagi pada orang lain. Godaan berpikir negatif sering muncul ketika uang, jabatan, atau seseorang yang dicintai pergi meninggalkan kita. 

Segala hal-hal buruk, bahkan doa-doa buruk kepada orang itu berlompatan di kepala kita. Seketika kita melupakan segala kebaikan yang pernah ia lakukan pada diri kita. Dalam kekecewaan dan kebencian seperti itu, kita hanya mengingat sisi negatifnya dan sama sekali tidak mau menyentuh sisi positifnya.

Bagaikan orang memakan pisang, mereka akan mengupas pisang dengan baik dengan cara yang indah menarik tetapi ia akan memberikan isinya kepada orang lain sementara dia sendiri berbangga memakan kulitnya.

Pikiran adalah "musuh maparo...", musuh yang sangat dekat dengan diri kita. "Tan madoh maring awak...", ia berada tidak jauh dari badan kita dari diri kita karena "ri ati ya tonggwanya..." karena ia berada dan tinggal lengket di dalam hati kita.

Pikiran sukar untuk dikendalikan dan tidak pernah tenang diam di satu tempat. Yoga (jalan hidup spiritual) sangat sukar tercapai oleh seseorang yang tidak dapat mengendalikan dirinya.  Akan tetapi, seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar dan penuh kendali diri akan mencapainya. 

Mengenali musuh di dalam diri dalam bentuk pikiran seperti itu akan sangat membantu untuk mengenali jati diri. Itulah maknanya Arjuna meminta Krishna membawa keretanya ke tengah-tengah kedua belah pasukan. Ia ingin melihat musuh-musuhnya agar ia bisa melihat kekuatan dirinya. 

Dengan mengenali musuh yang ada di dalam diri maka dengan mudah orang akan dapat mengenali sang diri sejati yang siap memberikan segalanya kepada dirinya. Sang diri sejati memenuhi segala kebutuhan dirinya dengan sendirinya karena sesungguhnya segala ada di dalam diri. 

Jika ada masalah lalu kita menyentuh sisi positifnya maka seluruh hal negatif akan diubah menjadi positif. Jika segalanya dipenuhi kebaikan tetapi orang melihat sisi negatifnya saja, maka seluruh keindahan akan berubah menjadi problem maha berat.

Lama berada dalam pergaulan spiritual tidak menjamin orang bebas dari pikiran-pikiran negatif. Sebaliknya, ia akan selalu mengintip, mengintai setiap celah yang ia bisa dapatkan untuk masuk dan kemudian mengobrak-abrik segalanya. Berhati-hati dan selalu waspada dalam hal ini, setiap saat, akan banyak menyelamatkan diri dari kejatuhan jalan indah spiritual yang sedang ditekuni.

Kewaspadaan bisa dimiliki dengan melatih pengendalian diri dari waktu ke waktu tanpa mengenal lelah apalagi menyerah. Melalui usaha yang terus-menerus (abhysa) dan dengan menjauhi godaan-godaan (vairgya) maka pikiran lebih mudah dapat dikendalikan. Maharesi Cakya mengatakan, "rutv dharma tyajati durmatim", dengan membaca dan mendengar Veda orang bisa mengerti dharma dan pikiran-pikiran buruk bisa dihilangkan.

Pikiran yang terkendali dengan baik menyebabkan orang bisa mengarahkan diri untuk selalu berpikir positif dan menghindari berpikir yang serba negatif. Selalu berpikir tentang kebaikan dan menghindari berpikir hal-hal yang buruk akan membukakan pintu rezeki dan kebahagiaan. Kalau tidak, barangkali orang bisa mendapatkan uang dan jabatan, tetapi kebahagiaan akan menjauh dari diri orang tersebut. (dy)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun