Mohon tunggu...
Im Dalisah
Im Dalisah Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Hanya suka menulis. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Dari Keringat Hingga Doa; Dedikasi Seorang Ayah Untuk Keluarga

18 Oktober 2024   00:04 Diperbarui: 18 Oktober 2024   00:24 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkau telah memahami jalan hidup yang hitam dan merah.
Keriput di tulang pipimu adalah bukti perjuangan,
Bahumu yang dulu kekar dan legam terbakar matahari,
Kini mulai kurus dan terbungkuk,
Namun semangatmu tak pernah padam.
Meski langkahmu kadang gemetar,
Kau tetap setia berjalan di jalanmu.

Penggalan lirik yang dilantunkan Ebiet G Ade menggema syahdu di telinga. Kesyahduan lagu berjudul "Titip Rindu Buat Ayah" ini semakin terasa kala semilir angin sepoi-sepoi berhembus pelan melalui jeruji jendela yang mulai usang.

Alunan merdu yang dinyanyikan sang penyanyi menggiring ingatan penulis kepada sesosok pria hebat yang telah mendedikasikan seluruh helaan nafasnya untuk lima orang anak yang dititipkan tuhan kepadanya. Segala tenaga, pikiran, dan waktunya telah ia curahkan untuk kami anak-anaknya.

Ya, ia adalah ayahku. Aku bersama keempat adikku, memanggilnya papa, sebuah sebutan yang memiliki akronim kaum kaya, meskipun secara ekonomi keluarga kami bukanlah orang berada.

Di usianya yang sudah terbilang senja, aku bersyukur Tuhan masih memberikan kepadanya fisik yang prima. Meski tak sekuat saat muda, ia masih mampu melakukan beberapa pekerjaan yang menuntut tenaga.

Jujur saja, aku sangat kagum dengan lelaki ini. Bagiku, dia adalah petarung sejati. Tak peduli hujan dan panas, siang dan malam, dia bertarung melawan ganasnya ombak kehidupan. Tujuannya hanya satu; memastikan anak-anak dan istrinya hidup layak, tidak kelaparan, terhindar dari teriknya matahari dan dinginnya hujan, serta mendapatkan pendidikan yang layak.

Kekaguman ku yang lain soal integritas dan kehidupan religiusnya. Dalam dua hal ini, tak ada kompromi baginya. Pria yang lahir 66 tahun lalu ini memegang teguh prinsip-prinsip yang ia yakini, bahkan setelah purna tugas dari profesinya sebagai guru SD. Meskipun pernah ditawari jabatan struktural menjelang pensiunnya di instansi tempatnya bekerja, ia dengan tegas menolak.

"Papa pernah mendengar sebuah ceramah, jika seseorang mendapat kesempatan untuk berkuasa, ia cenderung akan sewenang-wenang," ucapnya suatu ketika. Dalil inilah yang menjadi penyebab ia menolak jabatan yang ditawarkan.

Begitu pula dalam urusan hubungannya dengan Tuhan, ia sangat teguh, tegas, dan lurus. Ia muslim tulen yang sangat taat beribadah dan haus akan ilmu agama.

Dalam berbagai kesempatan, ia selalu menasihati anak-anaknya untuk senantiasa mengingat Allah SWT, Sang Penguasa Semesta. Baginya, hidup tanpa pedoman agama bak kapal yang mudah karam, rapuh, dan tanpa arah yang jelas.

"Ini adalah pedoman dan prinsip hidup yang harus kalian pegang teguh, sampai kapanpun. Kalau ingin selamat dunia dan akhirat, selalu libatkan Allah dalam kehidupan kalian sehari-hari," ucapnya tegas dihadapan kami berlima.

Di usianya yang tak lagi muda, hari-hari lelaki itu kini lebih banyak dihabiskan dengan cucu-cucunya. Sambil tersenyum hangat, ia menemani mereka bermain, tertawa, dan berbagi kisah. Namun, di balik tawa itu, ada satu impian besar yang masih ia genggam erat---sebuah mimpi yang ia gantung tepat di depan matanya selama puluhan tahun: berangkat ke tanah suci Mekkah.

Bukan perkara mudah mewujudkan impian itu. Dengan gaji yang tak seberapa sebagai seorang pensiunan guru, ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit pendapatannya untuk satu tujuan mulia: menuntaskan panggilan suci untuk berhaji. Setiap lembar rupiah yang ia simpan adalah langkah kecil menuju tanah yang dijanjikan, sebuah perjalanan spiritual yang selalu ia dambakan.

Mimpinya ini bukanlah keinginan yang baru terbersit. Sejak puluhan tahun silam, ia sudah menaruh impian itu tepat 5 cm di depan dahinya, menggantung seperti bintang yang selalu ia kejar. Meski perlahan, dengan penuh kesabaran, ia terus berusaha mewujudkannya. Setiap doa yang ia panjatkan, setiap kali ia menyisihkan penghasilannya, semua itu adalah bagian dari perjalanan panjang menuju harapan tersebut.

Kini, sembari menunggu panggilan itu tiba, lelaki ini tetap menjaga semangatnya. Waktunya yang dihabiskan bersama keluarga, terutama cucu-cucunya, menjadi kebahagiaan tersendiri. Ia tahu, takdir akan menghantarnya ke tanah suci pada saat yang tepat, ketika seluruh doa dan usahanya terjawab oleh Sang Maha Kuasa.
-----------------------
Tulisan ini penulis dedikasikan untuk Papa, seorang laki-laki yang tak pandai bicara tentang cinta, tak mahir mengurai air mata, namun di tiap tengadahnya tak pernah lupa menyebut nama anak-anaknya dalam doa.

Serta, terkhusus untuk Mama, seorang wanita luar biasa, seorang perempuan yang setiap doanya mampu mencakar langit, dan masih begitu peduli agar tak seekor nyamuk pun tak mengganggu kenyamanan tidurku, walaupun tubuh ringkih mu sudah tak mampu melakukan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun