Mohon tunggu...
Ilyas Syatori
Ilyas Syatori Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda Desa

Kadang menulis, kadang berkebun, lebih banyak tidur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Para Peracik Pil Pahit Bernama Kehidupan

16 Februari 2022   19:21 Diperbarui: 16 Februari 2022   19:29 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tahu bahwa hidup ini memang pahit, apalagi di masa yg serba pahit ini. Sudah hidup sendiri pahit, dihantam keadaan sekitar yang pahit juga.Saya masih bisa bersyukur, paling tidak sedikit meringis, sebab masih dipertemukan dengan orang-orang yang tahu bahwa hidup ini pahit namun mereka bergegas untuk segera menelannya agar tidak terlalu terasa menyiksa.

Sesekali mereka meng-aduh-kan hidup, banyak kali mereka lebih memilih menertawakan hidupnya sendiri. Dan saya rasa, ini merupakan mekanisme batin paling ampuh untuk menghalau segala kandungan dalam pil berupa kepahitan yang amat.

Malam ini saya sedikit-banyak belajar menyoal kejujuran dan keberanian dari seorang yang menurut kita tidak bisa mendefinisikan sebuah idiom "jujur" dan "berani".

Jika kita menanyakan kepada mereka "apa itu jujur?" Dan "mengapa kita harus berani?" Saya yakin mereka akan kewalahan berkata untuk memberi jawaban kepada kita, apalagi aksara.

Meskipun jika demikian adanya, Saya melihat jawab dari keduanya tanpa perlu di definisikan secara tertulis dan terkatakan sebab keduanya telah melekat pada kehidupan mereka.

Merekalah yang berani dan jujur melihat dirinya sendiri serta keadaanya tanpa malu dan bertendensi apapun.

Iya, malu. Malu mengakui kurang diri sendiri. Malu menyatakan ini benar, itu salah. Bohong. Bohong pada diri sendiri bahwa yang lebih baik memimpin itu dia, bukan aku. Bahwa yang pantas di kasihani adalah dia bukan aku. Yang patut di muliakan dan dihormati seharusnya mereka, mengapa aku?.

Singkat kata, saat kita sibuk berargumentasi soal citra diri kita dan kehidupan kita yang penuh kebohongan untuk kemudian menjadi seorang penakut. Padahal mereka ini tanpa ragu, walau sakit, memilih apa yang kita tak akan pernah kuat.

Padahal kita semua paham bahwa obat pahit yang kita telan bukan sebuah penanda dari rendahnya martabat kemanusiaan seseorang, tapi justru menjadi pembersih dari penyakit yang tekah mengidap di tubuh kita selama ini. Artinya, bahwa pahit hidup merupakan keniscayaan yang bukan menjadi penanda lemahnya diri, melainkan menjadi bukti keesokan harinya kita telah menjadi lebih kuat dn sehat.

Bekal hidup mereka, yang saya tahu, hanya keyakinan bahwa "sakitku hari ini adalah kebahagiaanku di kemudian hari. Jika tidak sekarang di dunia, semoga Tuhan memasukkan dalam golongan yang beruntung kelak di akhirat"

Barangkali hidup kita sudah mengalami kelangkaan figur kecil nan hebat seperti orang-orang desa yang pernah saya temui. Kita sibuk mengerek figur mentereng, yang bisa jadi, sangat jauh dari kenyataan untuk kita jadikan pahlawan dan pembuat sejarah.

Tandas Romo Mangunwijaya "bahwa tokoh sejarah dan pahlawan harus kita temukan kembali diantara kaum rakyat biasa yang sehari-hari. Yang barangkali kecil dalam harta dan kuasa, namun besar kesetiaannya pada kehidupan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun