Wajah berseri, badan tegap, dan mengucap Assalamualaikum ketika datang sambil melontarkan senyum hangat kepada orang-orang yang hadir dalam ruangan yang dipakai untuk acara diskusi terbatas di MNC Tower, Jakarta Pusat. Orang yang saya maksud adalah Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo, yang tidak segan berkeliling ruangan untuk bersalaman dengan orang-orang yang hadir di acara yang mengangkat tema “Review Kondisi Ekonomi dan Politik di Indonesia Saat ini”.
Mungkin saya adalah salah satu orang yang beruntung karena mendapat kesempatan untuk bisa hadir dalam diskusi yang dihadiri para pembicara top seperti Rektor Paramadina Firmazah, Guru Besar Universitas Diponegoro (UNDIP) Prof FX Sugiarto, Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Andi Ali, Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Alfan Alvian, dan Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) Taufan Damanik.
Acara ini dibuka oleh Kordinator komunitas Langkah Hary Tanoesoedibjo (HT) Fajar Arif Budiman. Dia mengatakan banyak anak muda yang resah dengan kondisi perekonomian saat ini, dimana menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan dan pengangguran tidak banyak mengalami penyusutan. Sementara, para elite politik malah lebih memilih berkonflik satu sama lain dan terkesan “bodo amat” dengan nasib bangsa, terutama rakyat kecil.
Langkah HT adalah adalah organisasi anak muda nonpartisan yang fokus dengan program pemberdayaan anak muda. Meski mengaku tidak terasosiasi dengan partai politik, Langkah HT mendukung program-program Hary Tanoesoedibjo khususnya di bidang sosial-ekonomi dan budaya.
Dalam diskusi yang dimoderatori pengamat politik Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) Dimas Oky Nugroho ini, saya mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih luas dari pemaparan narasumber. Dari mulai ribetnya permasalahan krisis ekonomi dunia dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, salah satunya seperti yang diutarakan Firmanzah. Dia mengatakan masalah utama Indonesia saat ini belum berubah, masih berkutat seputar kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Pria yang pernah menjadi penasehat ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menilai, saat ini pemerintah hanya fokus pada pembangunan infrastruktur. Sedangkan, program-program yang lebih dibutuhkan rakyat seakan masih belum serius untuk digarap, termasuk program bantuan sosial yang malah dihilangkan dari anggaran belanja negara. Sementara, rakyat kecil yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, tingkat pendidikannya rendah, dan tidak memiliki pekerjaan, tidak mendapat perhatian khusus. Padahal, mereka seharusnya mendapatkan perhatian lebih untuk memenuhi kebutuhannya.
Para pembicara lain senada dengan Firman, contohnya Sugiarto. Pria yang menjabat sebagai Komisaris Bank Jawa Tengah ini mengatakan bahwa hingga saat ini terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara Provinsi DKI Jakarta dengan Provinsi Papua. Kesenjangan ekonomi tersebut ternyata membuat kesenjangan-kesenjangan lain, seperti kesenjangan pendidikan. Sugiarto memaparkan di Jawa Tengah, banyak anak-anak usia 13 tahun ke atas tidak melanjutkan pendidikan karena tidak punya uang. Kebanyakan dari mereka, kata Sugiarto, hanya bisa hidup dari hari ke hari dengan penghasilan yang sangat pas-pasan.
Sementara Hary Tanoesoedibjo tidak ingin bicara panjang kali lebar. Pria berusia 52 tahun ini membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya lebih baik daripada Indonesia.
Pria yang akrab disapa HT ini juga memiliki pemikiran bahwa dalam membangun bangsa yang maju, maka angka kemiskinan harus ditekan dan jika rakyatnya belum sejahtera maka sudah dipastikan negara tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai negara maju. Padahal, tujuan bernegara adalah untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan malah mengeksploitasinya untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam diskusi yang disiarkan langsung di akun Facebook Langkah HT, dia menjelaskan pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban mengakomodir keperluan rakyatnya, terutama dalam hal dasar seperti lapangan pekerjaan dan menjamin kehidupan yang layak seperti yang diamanatkan UUD 1945.
HT pun melihat secara objektif, dia mengakui bahwa ada program pemerintah yang harus mendapat apresiasi, yaitu program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dimana rakyat miskin diberikan modal untuk membuka usaha. Namun, HT menilai program ini jangan hanya menjadi “angin” sesaat yang hanya memberikan modal tapi tidak ada pembinaan lebih lanjut dan memastikan usaha tersebut bisa berjalan. Padahal, untuk membuat para pelaku UMKM ini naik kelas, diperlukan pelatihan dan pendampingan agar usaha tersebut berhasil.