Mohon tunggu...
abang redi ilyasa
abang redi ilyasa Mohon Tunggu... -

saya punya motto hidup "yang paling mahal di dunia ini adalah kesederhanaan". sangat suka basket, sepakbola, musik, trekking dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kegagalan Dramatik Italia & Over Confidence-nya Lippi

28 Juni 2010   06:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4 tahun lalu, Italia pulang sebagai pemenang sementara Prancis pulang sebagai pecundang. Kini, negeri asal Julius Caesar dan negeri asal Asterix-Obelix itu sama-sama keluar dari gelanggang sebagai mereka yang kalah. Ya, siapa sangka, Fabio Cannavaro Cs dan Thierry Henry and His Gang harus mengubur asanya memenangkan Piala Dunia dengan cara teramat tragis- gagal meraih satu kemenanganpun dan jadi juru kunci di kualifikasi grupnya masing-masing. Menyaksikan Prancis gagal saya berandai-andai : andaikan pelatihnya bukan Raymond Domenech. Sementara menyaksikan Italia gugur ditangan Slowakia saya juga berandai : andaikan Andrea Pirlo bisa bermain lebih awal, tidak diturunkan pada menit ke 76 babak kedua. Tragedi Prancis dan Italia di Piala Dunia 2010, Afrika Selatan, mengingatkan saya pada runtutan sejarah persepakbolaan mereka yang memang dramatik. Mereka sama-sama pernah menang secara dramatik, pernah juga kalah secara dramatik. Namun bila dibandingkan kadar dramatikalnya, jelas Italia yang sudah pernah mengangkat trofi Piala Dunia empat kali, lebih layak disebut ‘paling’ daripada Prancis.

Kemenangan dramatik Italia yang tak lekang dari ingatan saya adalah kemenangan mereka di Piala Dunia 1982, saat mereka menjadi kampiun dengan menghempaskan Juara Euro’1980, Jerman Barat. Tersendat-sendat melewati babak pertama dalam putaran final yang digelar di Spanyol, Paolo Rossi dan kawan-kawan mengakhirinya dengan kemenangan mantap 3-1 dari tim Panser yang dimotori Karl-Heinz Rummeniegge. Naiknya tim Azzuri yang saat itu diasuh Enzo Bearzot ke tampuk tertinggi persepakbolaan dunia sama sekali diluar prediksi para pelaku dan pengamat sepakbola. Azzuri datang dengan para bintang yang baru saja terjerat kasus pengaturan skor, yang sungguh ketika itu membawa aib besar bagi Serie A, liga sepakbola profesional mereka yang sempat jadi model liga sepakbola profesional di berbagai negara. Namun pengucilan tim nasional Italia oleh publiknya sendiri itu, justru menjadi cambuk yang ampuh untuk melecut semangat bertanding. Walau Italia dikecam karena juara berkat sepakbola defensif – yang dikenal luas sebagai cattenacio- , toh rakyat Italia hingga saat ini masih menganggap Paolo Rossi, Claudio Gentile, Dino Zoff dan Bruno Conti sebagai hero dan legenda sepakbola modern mereka. Fabio Cannavaro, Andrea Pirlo, Fabio Grosso atau Gianluigi Buffon yang menjadi pemain kunci saat mempersembahkan gelar untuk Italia pada 2006 lalu,  bahkan dianggap belum layak disejajarkan dengan para centurion dari tim Azzuri 1982 itu.

Kegagalan dramatik Italia yang paling kuat dalam memori saya adalah tumbangnya mereka dari Brazil di Piala Dunia 1994. Mereka kalah lewat adu penalti, setelah bintang mereka saat itu, Roberto Baggio, gagal menaklukkan Claudio Taffarel yang sepanjang turnamen tampil heroik menjaga gawang tim samba. Ironisnya, timnas Italia di Piala Dunia 1994, Amerika Serikat itu, justru dianggap sebagai tim yang memainkan sepakbola indah, agressive football, bukan cattenacio, yang oleh karenanya lebih diterima oleh publik sepakbola dunia. Mereka punya Roberto Baggio, centurion garda depan yang jago dribbling, jago eksekusi bola mati, yang bahkan punya reputasi sebagai goal getter tim Azzuri. Mereka punya Franco Baresi, sang kapten yang digadang-gadang sebagai libero terbaik dunia saat itu. Barisan depan mereka juga tak kalah mengagumkan. Italia menggantungkan harapan terciptanya gol demi gol kepada bakat-bakat besar yang ada dalam diri Giuseppe Signori, Gianfranco Zola, juga Pierluigi Casiraghi. Sebagai perumpamaan, harapan dan kepercayaan publik Italia pada tridente tersebut, sama besarnya dengan harapan dan kepercayaan rakyat Argentina pada Leonel Messi, Carlo Tevez dan Ganzalo Higuain, pada Piala Dunia 2010 ini.

Apakah kekalahan Italia di Piala Dunia 1994 membuat timnas Azzuri kembali pada cattenacio ? Mengingat, cattenacio a la Enzo Bearzot terbukti lebih ampuh daripada possesion football yang dikembangkan Arrigo Sachi ? Italia ternyata tak serta-merta kembali pada tradisi sepakbola bertahan, resep warisan dari generasi tua yang sempat membawa kegemilangan sepakbola Italia di masa lampau. Bertahun-tahun setelah itu Italia masih mengembangkan permainan menyerang nan cantik yang batunya diletakkan pada era Arrigo Sachi. Bintang-bintang baru bermunculan pasca kekalahan terhormat tim Azzuri di Piala Dunia 1994. Dari kancah Serie A yang begitu populer sebagai liga sepakbola paling terkemuka di dunia pada medio 1990-an hingga 2000, terlahirlah centurion-centurion tim Azzuri baru yang juga dikenal sebagai ikon klubnya.  Alessandro Del Piero dari Juventus, Francesco Totti dari AS Roma, Paolo Maldini dari AC Milan, Attila Lombardo dari Sampdoria, Alesandro Nesta dari Lazio dan Christian Vieri dari Inter Milan, adalah beberapa nama bintang Azzuri yang layak dikedepankan dalam era sepakbola menyerang yang dikembangkan Italia pasca kegagalan mereka di Piala Dunia 1994. Klub-klub mereka, terutama AC Milan dan Juventus, silih berganti membawa trofi Champions Eropa dan Piala Dunia antar klub ke bumi Italia. Sayang, tim nasional mereka belum mampu mempersembahkan trofi Juara Eropa maupun Juara Dunia, meskipun dengan kumpulan pemain-pemain berbakat sepanjang Piala Dunia 1994 hingga Piala Dunia 2002. Sepanjang Paolo Maldini menyandang ban kapten hingga masa pensiunnya dari tim nasional pada 2005, tak satupun gelar Eropa apalagi Dunia yang berhasil diboyong ke negeri spaghetti itu.

Barulah pada tahun 2006 tim Azzuri kembali ke Roma dengan gelar Juara Dunia. Mirip dengan Piala Dunia 1982 disaat mereka menjadi juara, dalam turnamen yang digelar di negeri Jerman itu Italia bukanlah salah satu favorit kuat. Dunia lebih melirik Brazil yang begitu menjanjikan dengan perpaduan Kaka dan Ronaldinho-nya. Jerman juga lebih dilirik daripada Italia dengan reputasinya sebagai tim spesialis turnamen dan tuan rumah. Bahkan dibandingkan tim ayam jantan yang mereka tumbangkan di grand final, Fabio Cannavaro dan kawan-kawan sama sekali tak masuk dalam hitungan. Mengapa publik dunia begitu pesimis dengan tim Azzuri di Piala Dunia 2006 ? Kalangan penggiat dan pemerhati sepakbola saat itu lebih antusias dan menaruh harapan kepada tim-tim dengan talenta muda nan berbakat, sementara dalam tim Azzuri 2006 tak banyak ditemukan talenta muda yang menjanjikan tersebut. Marcelo Lippi hanya membawa Danielle De Rossi, Alberto Gillardino dan Marco Amelia, dari kalangan pemain-pemain Italia yang bisa dibilang masih muda belia. Selebihnya Lippi masih menggantungkan harapan kepada para centurion semasa ban kapten masih dikenakan Paolo Maldini yang rata-rata sudah berusia diatas 28 tahun. Jelas, Inggris dengan Wayne Rooney-nya, Portugal dengan Christian Ronaldo-nya, Argentina dengan Leonel Messi-nya atau Jerman dengan Thomas Podolski-nya lebih menjanjikan daripada sederet bintang-bintang lawas skuad Azzuri 2006.

Marcelo Lippi berhasil membalikkan prediksi para penggiat dan pengamat sepakbola pada Piala Dunia 2006. Fabio Cannavaro Cs menunjukkan mental baja dan pengalamannya saat mengarungi pertandingan demi pertandingan yang dihelat mulai kualifikasi hingga grand final. Dengan pertahanan rapat, serangan balik dan umpan-umpan matang Andrea Pirlo, Italia berhasil membabat lawan-lawannya di babak gugur, meskipun mereka melewati penyisihan grup dengan jalan yang sama sekali tak bisa dibilang mulus. Australia yang saat itu masih diperkuat bintangnya, Mark Viduka, dihentikan Azzuri dengan gol tunggal Francesco Totti. Ukraina yang mengusung optimisme tinggi bersama mesin gol Eropa, Andriy Shevchenko, dibantai dengan 2 gol Luca Toni dan 1 gol Gianluca Zambrotta, tanpa diberi kesempatan membalas. Langkah Italia menuju tampuk juara kian meyakinkan saja, disaat mereka menumbangkan tuan rumah Jerman dengan dua gol mengejutkan pada perpanjangan waktu (Fabio Grosso, Alessandro Del Piero). Dan ketika Fabio Cannavaro mengangkat tinggi-tinggi Piala Dunia pasca duel penalti dengan tim ayam jantan di Olymic Stadium, Munich, nyatalah betapa pengalaman dan kekuatan mental tim Azzuri lebih ampuh ketimbang gairah muda yang diusung oleh para tim favorit lainnya.

Dengan konsep yang nyaris sama dengan konsep yang digunakan Marcelo Lippi saat membangun Azzuri’s Winning Team 2006, Italia menjejakkan kakinya di tanah kelahiran Nelson Mandela. Fabio Cannavaro, Gianluigi Buffon, Andrea Pirlo, Vincenzo Iaquinta, Mauro Camoranesi dan Gianluca Zambrotta, menjadi representasi dari pengalaman tim Azzuri. Adapun Domenico Criscito, Giorgio Chiellini, Simone Pepe, Ricardo Montolivo dan tentunya Danielle De Rossi, menjadi representasi dari gairah muda dan asa masa depan juara dunia empat kali itu. Mereka dipercaya akan mampu mengatasi Paraguay, Selandia Baru dan Slowakia pada babak penyisihan grup. Ketika Italia berada di ujung tanduk setelah bermain imbang dengan Paraguay dan Selandia Baru, lagi-lagi publik sepakbola dunia masih menaruh kepercayaan besar bahwa Italia akan mampu lolos dari lubang jarum dengan menumbangkan Slowakia. Diego Armando Maradona, pelatih Argentina, adalah salah satu tokoh sepakbola yang memprediksi demikian. Mengingat Italia pada 1982 mampu melewati babak penyisihan grup dengan 3 kali seri dan pada 2006 mampu melewatinya cukup dengan satu kemenangan di laga akhir, Maradona yakin bahwa Italia akan tampil di perdelapan-final dan kembali menjadi favorit juara. Semua prediksi itu meleset jauh pada akhirnya. Slowakia yang dimotori oleh salah satu bintang serie A, Marek Hamsik dari klub Napoli, memaksa sang juara bertahan pulang lebih awal. Antonio Di Natale, mesin gol Udinese sampai harus dipapah keluar lapangan, setelah sebelumnya meratapi kekalahan Italia yang terlalu dini itu.

Kegagalan Italia pada babak penyisihan grup Piala Dunia 2010 bagi saya masih kalah dramatik dari kegagalan mereka merenggut gelar juara di tahun 1994. Kegagalan mereka di tahun 1994 tetap lebih dramatik, mengingat mereka kalah ketika mereka pantas menjadi juara. Sedang kegagalan mereka di Piala Dunia 2010 ini bukanlah sesuatu yang dramatik atau aneh, bila publik sepakbola jeli menyimak perjalanan mereka menuju Afrika Selatan, atau perkembangan sepakbola Italia pasca kemenangan mereka di Piala Dunia 2006. Dalam empat tahun ini, tak ada perkembangan berarti dari persepakbolaan Italia di dalam negeri. Tak ada bintang-bintang muda yang benar-benar layak menerima tongkat estafet dari generasi emas Italia millenium baru, yang telah melahirkan seorang Francesco Totti, Alessandro Nesta, Andrea Pirlo, Alessandro Del Piero atau seorang Gianluigi Buffon. Benar apa yang dikatakan pelatih Vladimir Weiss bahwasanya, tak ada seorangpun pemain Italia di Piala Dunia 2010 yang cukup membuat pasukannya gentar. Mantan pelatih tim nasional Italia, Cesare Maldini, jauh-jauh hari sudah mengingatkan Lippi, bahwa di Afrika Selatan mereka harus sangat waspada dan jangan sampai mengandalkan keberuntungan, sebagaimana ketika mereka mengatasi tim lemah Siprus dan Georgia di babak penyisihan grup Eropa. Sayangnya, pelatih yang memang punya reputasi bagus baik didalam tim nasional maupun saat menangani klub ini tak bergeming akan peringatan dari asisten Enzo Bearzot itu. Saking yakinnya Lippi terhadap kemampuan timnya, ia merasa tak perlu menyertakan Marco Boriello, Antonio Cassano juga Fabrizio Miccoli, yang justru tampil jauh lebih impresif di serie A ketimbang beberapa penyerang yang dipanggil Lippi untuk timnas Piala Dunia. Jika sebelumnya keputusan tak populer Lippi justru membuat tim yang diasuhnya berhasil, maka kali ini keputusan tak populernya malah membawa tim Azzuri pada akhir yang tragis di Piala Dunia 2010. Inilah buah dari over confidence-nya Lippi terhadap keberuntungan dan intuisinya sendiri. Pendirian yang membuat Marcelo Lippi buta akan kekuatan sebenarnya dari tim yang ia asuh, sekaligus buta akan kekuatan besar dari tim-tim non-unggulan yang harus dihadapinya di grup F putaran final Piala Dunia 2010, Afrika Selatan. Sungguh Marcelo Lippi betul-betul telah luput dari menyadari, betapa pemain berpengalamannya tidak datang dengan mental bertempur seperti 4 tahun lalu, dan betapa pemain-pemain muda yang dibawanya sebenarnya belum siap bersaing bahkan dengan pemain-pemain muda dari tim non-unggulan sekalipun. (aea)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun