Semilir angin di pagi hari yang menyegarkan. Terik matahari belum begitu terasa karena ia belum mau naik ke singgasana siang. Yang ada hanyalah sinar yang menebar kehangatan bagi segala yang ia beri sentuhan. Pepohonan, rerumputan, hewan gembalaan, para petani di pesawahan, singkatnya mereka semua menikmati suasana pagi yang amat mesra ini.
      "Punten Bah," ucap Si Kabayan ketika akan melewati seorang kakekk yang sedang mencangkul di kebun.
      "Mangga," balas si kakek. Lalu kakek itu juga balik bertanya.
      "Mau ke mana Kabayan?
      "Eh, Bah. Mau ka sawah, Bah. Mau nyari tutut!" jawab Kabayan.
      "Oh, iya atuh. Hati-hati, ya!"
      "Siap, Bah. Kabayan duluan atuh ya!" Kabayan berjalan kembali untuk menuju ke sawah mertuanya. Mungkin sekitar lima menitan lagi dia akan sampai ke sana.
      Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya Kabayan sampai di sawah milik mertuanya. Milik si Ambu, panggilan dari mertuanya. Ada beberapa petak sawah dengan beberapa undakan. Satu petaknya berukuran sekitar lima kali sepuluh meteran. Kira-kira segitu jika ditaksir, karena sebagaimana kita ketahui nahwa kebanyakan bentuk sawah itu tidak beraturan. Mungkin mendekati bentuk persegi panjang dengan salah satu sisinya ada yang membentuk garis lengkung. Entah bagaimana cara menghitung luasnya ya?
      Kabayan langsung ke tepian sawah, galengan namanya. Ia duduk jongkok dan nampak olehnya bayangan langit di atas.
      "Astaga, sepertinya sawah ini dalam sekali" ucapnya.