Ada masa ketika hari hari yang dilalui adalah berita dukacita. Suami saya kehilangan Bude, sepupu, suami sepupu, karena Covid. Bahkan suami sepupu wafat 3 bersaudara hanya dalam waktu 20 hari. Belum lagi berita duka cita dari teman-teman sendiri.Â
Ya Allah semoga yang wafat mendapat tempat terbaik disisi-Mu, keluarga yang ditinggalkan kuat, tabah dan ikhlas. Terutama anak-anak yatim yang kehilangan tempat bersandar karena orangtuanya menjadi korban Covid, bisa menemukan kembali harapan akan masa depannya.
Jadi teringat kami sekeluarga (saya, suami dan anak semata wayang yang berusia 6 tahun, Adra) juga sempat terkena Covid yang lumayan 'berat'. Tadinya suami yang demam. Itu kejadian tanggal 1 Juni 2021. Dia test antigen, hasilnya negatif. Makanya pede, demamnya bukan karena Covid. Apalagi memang baru kena panas seharian kerja lapangan di Bogor, terus kena hujan pula. Demamnya turun naik. Besok merasa baikan, besoknya demam lagi.
Tanggal 4 Juni sore  akhirnya kami ke RS lagi. Dites Antigen, hasilnya positif. Langsung panik. Besoknya tanggal 5 Juni kami bertiga test PCR. Hasilnya baru keluar besoknya tanggal 6 Juni. Malam tanggal 6 Juni itu, giliran Adra yang demam tinggi. Sudah dikasih penurun panas tetapi gak mempan. Saya juga demam dan kepala pusing banget. Minum parasetamol sampe 2 sekali minum juga gak mempan. Sudah menduga, ketika tanggal 6 Juni hasil PCR keluar, kami bertiga positif Covid. Keluarga besar langsung menyarankan rawat inap.Â
Akhirnya saya ngepack secepat kilat, kemudian berangkat ke RSCM di tanggal 6 Juni 2021. Setelah diperiksa di UGD, malamnya dengan ambulans kami dibawa ke Kiara, RSCM, di lantai khusus ibu dan anak/keluarga. Kami naik ambulans berempat, dengan seorang pasien lain yang sudah sangat berat, karena saturasi di bawah 80 (Pasien ICU).Â
Oh iya, kami bisa langsung dapat kamar (bertiga seruangan) Â karena ketika itu yang terkena covid belum membludak. Bahkan ketika kami sampe, beberapa ruang kamar di Kiara masih kosong.Â
Besoknya kami mulai diperiksa dokter. Karena Saturasi bagus, saya dan Adra sempat disarankan Isoman saja. Tetapi kami masih demam tinggi, kepala pusing banget dan perut mual gak ketulungan. Sementara suami kondisinya semakin memburuk. Bahkan sempat tekanan darah drop, Saturasi drop di bawah 80, hingga dimasukkan ke HCU.Â
Suami terkena 'badai sitokin'. Sempat mencari plasma konvalesen, tetapi akhirnya tim dokter memutuskan tidak memakai plasma tersebut, melainkan actemra.Â
Suami saya seminggu di HCU. Setelah itu kembali ke ruangan biasa bersama saya dan Adra. Selama di RS ini saya dan suami juga disuntik pengencer darah, karena salah satu efek Covid adalah pengentalan darah.Â
Dua hari menjelang pulang, seorang fisioterapi RSCM mengajarkan gerak pernafasan, karena pernapasan suami masih sulit. Kami pulang dari RSCM tanggal 22 Juni dengan hasil PCR sudah negatif.Â
Apa pelajaran penting ketika kami kena Covid sampe dirawat ini? Â Pertama, identifikasi kena Covid ini harus sedini mungkin. Karena jika gak menyadari, terus virus sudah menyebar tanpa penanganan di awal, kondisi bisa berat. Replikasi virusnya cepat. Bisa menyerang pencernaan, ke mana mana.Â
Makanya, alat test PCR kudu murah, terjangkau bagi semua kalangan. Jadi bisa tes sedini mungkin begitu kontak erat yang kena Covid. Tes Dini ini juga untuk memutus rantai penularan covid.
Kedua, hasil antigen bisa false negatif, jadi memang harus diulang, dilanjutkan dengan PCR yang lebih akurat.
Ketiga memang harus segera vaksin. Sebelum kena Covid, saya sudah rajin nanya di lingkungan kapan vaksin, teapi di bulan Mei itu masih nunggu giliran. Sekitar bulan Juli, Â keluarga adik, ipar juga pada kena Covid, Â tetapi karena sudah vaksin gejalanya tidak berat, bisa cukup dengan Isoman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H