Kalau jalan jalan ke Puncak, mesti suka baca plang 'Telaga Warna'. Â Tetapi gak pernah singgah.Â
Baru ketika tanggal 3 Juni 2019 lalu,menjelang 2 hari Lebaran, suami tiba tiba ngajak jalan jalan ke Puncak. Mumpung sepi katanya, hehe. Ok deh kamipun meluncur melewati tol Jagorawi yang biasanya sangat padat, tetapi kini lancar. Â Ya iyalah, kantor dah pada libur, penghuni Jakarta juga sudah pada mudik.Â
Jadilah kami ngabuburit, lagi puasa puasa ke Puncak. Terus saja kami melaju, belum memutuskan singgah di bagian mananya Puncak. Eh tetiba suami belok kiri masuk ke jalanan yang rada naik, bertuliskan Telaga Warna.Â
Ketika hendak turun dari Mobil, kami sudah disambut oleh banyaknya monyet disini. Petugas parkir mengingatkan agar kami tidak membawa makanan. Biar tidak diserbu para monyet ini. Kamipun keluar tidak membawa makanan. Tetapi Saya tetap membawa tas selempang saya dan mbaknya Adra bawa perlengkapan baju ganti Adra.Â
Kami jalan menuju Telaga Warna, tetiba segerombolan monyet mendekati saya dan Lia. Tangan monyet berupaya menggapai tas dan tentengan baju ganti Adra yang dibawa. Aduh rada kaget, seolah kawanan monyet ini mau menyerang kami. Akhirnya petugas datang, dan kami balik ke Mobil untuk menaruh tas dan tentengan. Intinya mah, kalau turun mobil jangan bawa apapun deh.Â
Jadi kami kembali jalan ke arah Telaga warna tanpa membawa apapun. Ketika melihat telaga ini, Tak kirain telaganya warna warni. Ternyata berwarna hijau lumut. Dengan latar hutan lebat yang hijau berkabut. Mentari tampak malu malu, membuat sebagian pepohonan hutan terpantul ke Danau.
Suasana di Danau ini, tenang dan mistis. Ternyata danau ini ada legendanya.Â
Konon dulu Danau ini bekas kerajaan Kutatanggeuhan, dengan Prabunya yang bijaksana, Prabu Suarnalaya Dan Ratunya yang jelita Purbamanah. Sayang keduanya tidak dikaruniai putra sebagai penerus kerajaan. Akhirnya dengan doa yang tekun, sang Ratu hamil, Dan lahirnya seorang putri yang jelita.Â
Putri tersebut sangat dimanja. Apapun kemauannya diturutin. Suatu saat dia ingin kalung terindah didunia. Sang Prabu sudah mengirim utusan untuk mencari kalung itu, tetapi sang putri tetap tidak berkenan. Akhinya ibunda Ratu memberi kalungnya yang sangat berharga, sangat disayang, begitu Indah, dengan batu-batu yang sangat cantik.Â
Sang putri tetap tidak mau. Ibundanya Ratu Purbamanah mennagis sedih tak berhenti. Air matanya tiba tiba membesar menjadi Danau dan menenggelamkan kerajaan ini berikut isinya.Â
Duh sedih banget yak. Danau air mata mah kalau gitu namanya. Setelah melihat Danau kami juga berjalan menyusuri kebun teh yang indah. Hamparan hijau dengan bukit berkabut sebagai latarnya yang mistis.
Setelah itu kami lanjut ke Kebon Raya Cibodas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H