Bendungan Jatigede Sumedang, merupakan bendungan kedua terbesar  di Indonesia setelah waduk Jatiluhur. Rencana pembangunan bendungan ini sudah sejak era Belanda, Soekarno, Soeharto. Tetapi baru rencana dan ditolak oleh masyarakat adat Sumedang.
Pada tahun 2007, di era pemerintahan SBY-JK, pembangunan waduk mulai dirintis. JK ke China untuk mendapatkan pendanaan Bank Exim China. Tahun 2008 pendanaan didapatkan. Tetapi hingga akhir pemerintahan SBY, tidak ada penanda tanganan Perpres, karena kuatnya penolakan masyarakat disini.
Baru pada era Jokowi, tahun 2015 ditanda tangani Perpres no. 1/2015 untuk menuntaskan ganti rugi kepada masyarakat. Dan bulan Agustus 2015 penggenanganpun dilakukan.
Padahal esensinya masyarakat menolak. Ada 11.000 KK dari 28 desa yang akan ditenggelamkan. Ada 1368 Ha hutan dan 2050 ha persawahan yang ditenggelamkan. Termasuk juga situs situs sejarah yang terkubur didasar waduk.
Padahal bukan hanya  masyarakat yang terkena dampak waduk yang menolak. Tetapi juga para ahli geologi yang melihat bahwa posisi waduk Jatigede berada pada sesar aktif Baribis. Berada pada daerah rawan gempa, rawan longsor, rawan tanah bergerak.
3 Tahun Setelah Penenggelaman
Setelah 3 tahun penenggelaman, ternyata warga Jabar pun belum mendapat manfaat dari waduk tersebut. Malah terdapat dampak lingkungan yang kian parah di Jabar, yaitu kekeringan yang kian luas cakupannya. Bahkan area waduk mengering, sehingga desa desa yang ditenggelamkan muncul kembali.
Bayangkan hutan adalah penyimpan air secara alami. Jika ribuan ha hutan dibabat demi waduk, maka kekeringan akan kian menjadi. Selain itu, masyarakat yang mendapatkan manfaat dari aliran sungai Cimanuk tak dapat lagi mengakses sungai ini, karena alirannya ditutup langsung diarahkan ke waduk Jatigede. Mereka tak punya air lagi, sumber kehidupan.
Sementara itu puluhan ribu KK yang rumahnya ditenggelamkan juga masih belum mendapatkan ganti rugi memadai. Mereka juga kehilangan sawah tempat selama ini menjadi mata pencahariannya. Jadi waduk itu menenggelamkan sawah untuk mengairi sawah?
Dampak lingkungan waduk memang bukan sekedar merubah ekosistem sungai. Merubah proses sedimentasi sungai. Bahkan bisa menjadi sarang vektor penyakit malaria dan demam berdarah, karena aliran lambat di waduk.Â
Bukan hanya Jatigede, secara umum, ada penelitian terhadap 1000 bendungan di Afrika menggunakan citra satelit yang dilakukan oleh Eric Strobel dan Robert Strobel dari EC, menunjukkan pengurangan hasil pertanian.Â
Sedangkan Rohini Pande dari Harvard University juga melihat hal yang sama di India. Katanya: "The main way to look at this is that there is no (agriculture) gain from dams," and building them costs a lot of money."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H