Beberapa hari ini warga Kalibata City menggelar demo menggugat keputusan Badan Pengelola (BP) Kalibata City dalam membebankan penghuni residen, regency dan apartemen, biaya kelangkaan air yang berlaku surut mulai dari Januari 2015. Kalibata City memang merupakan superblock yang dibangun oleh Agung Podomoro Land dengan tower yang berjumlah hingga 18 tower, terdiri dari 7 tower residen (rusunami), 3 tower regency (fasilitas bangunan lebih baik dari rusunami), dan 8 tower apartemen.Â
Selain Kalibata City, Agung Podomoro juga membangun superblock lainnya, seperti Bassura City di Cipinang yang juga memiliki puluhan tower. Begitu juga di beberapa area di Jakarta Utara seperti Green Bay Pluit/Baywalk Mall. Selain Agung Podomoro, pengembang raksasa lainnya yang banyak membangun apartemen adalah Agung Sedayu Group.
ASG juga banyak membangun area perumahan mewah yang iklannya selalu muncul setiap hari di MetroTV. Kemudian ada juga Lippo Group yang membangun apartemen dan mal di Kemang, yang kemarin-kemarin menjadi 'tertuduh' banjir parah Kemang, karena membangun gedung mewahnya diatas rawa-rawa, yang selama ini menjadi 'embung-embung' daerah Kemang.Â
Tentu saja ketika membangun superblock, apartemen ataupun perumahan di Area DKI Jakarta yang beban lingkungannya sudah teramat berat, ada beberapa pertanyaan kepada pihak pengembang tersebut terkait:
1. Suplai air bersih yang luar biasa untuk sekian ribu orang dan unit usaha itu darimana? Untuk kasus Kalibata City, dimana banyak teman kantor punya unit disini, air bersih disuplai dari 3 macam, yaitu Palyja, air tanah dan tangki air. Kebayang nggak, sedotan air tanahnya? Yang menjadi masalah, warga Kalibata City sudah membayar sesuai harga ekonomi biaya untuk air dan listrik, kenapa tiba-tiba ditagih 'surut' biaya kelangkaan air dari bulan Januari 2015? Jadi air langka? Kok bisa? Kalau Palyja jualan air, tentu saja seharusnya warga Kalibata City adalah pangsa pasarnya?Â
Apa Palyja juga tidak mampu memenuhi kebutuhan air bersih warga sehingga Pengelola Kalibata City beralasan membeli air tangki terus menerus dengan harga yang sangat mahal? Disini pihak BP Kalibata City sama sekali tidak transparan mengenai hitung-hitungan masalah kelangkaan air tersebut dan berapa biayanya.
Jadi tiba-tiba aja tuh ditagih biaya surut selama 18 bulan dai januari 2015 hingga Agustus 2016. Sudah gitu, menurut berita Kompas, eh Palyja malah bilang gak ada kelangkaan air selama ini yang disuplai ke Kalibata City. Nah loh, ini nggak terkait penangkapan Dirut APL kan? hehee
Makanya, untuk orang yang hendak membeli apartemen, perhatikan dengan cermat kemampuan pengembang dalam mensuplai air bersih ini, termasuk transparansi biayanya.Â
2. Kemampuan untuk mengolah limbah, baik limbah cair maupun padat. Seperti Kalibata City, kemampuannya mengolah limbah juga dipertanyakan. Karena kolam pengolahannya disinyalir tidak memenuhi standar. Begitu juga dengan sampahnya ternyata juga tidak diolah mandiri, tetapi nebeng ikut Pemprov DKI Jakarta?
3. Keamanan gedung, kenyamanan, dan sebagainya. Keamanan gedung menyangkut kualitas bangunan, misalnya lift dan antisipasi jika terjadi kebakaran. Jangan sampai kejadian kebakaran seperti di apartemen di TB Simatupang. Selain itu, masalah lahan parkir juga sangat terbatas, termasuk di bagian apartemennya, karena seolah tanpa perhitungan penyediaan ribuan unit dengan kebutuhan penampungan kendaraan.Â
4. Kompensasi atas lingkungan/tanah yang terkooptasi oleh beton apakah sudah dipenuhi oleh pengembang? Di atas kertas sih janjinya banyak. Coba dicek, apakah benar sudah dilaksanakan? Karena jika tidak, jangan hanya warga penghuni bantaran kali yang bisa dijadikan tertuduh penyebab banjir Jakarta, tetapi juga superblock, gedung-gedung, perumahan mewah yang tadinya dibangun diatas rawa-rawa atau ruang terbuka hijau (RTH).
Tentu saja pengembang punya uang dan kemampuan lobi-lobi sehingga yang tadinya RTH (Ruang Terbuka Hijau) berubah kebijakannya jadi area hunian dan area perdagangan? Ini juga saya baca di Kompas, 8 RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Jakarta yang sejak tahun 2008 berubah kebijakannya jadi gak RTH lagi, termasuk yang berdiri di rawa-rawa seperti Kemang village, Pondok Indah Kapuk, Sunter, dan seterusnya.Â
Sudah selayaknya Pemprov DKI sebagai regulator dan pengawas memperhatikan dengan cermat kemampuan para pengembang besar ini, sehingga tidak menambah beban bagi warga dan lingkungan Jakarta. Tidak mampu mengelola di daratan Jakarta, gimana mampu mengelola di pulau reklamasi?Â
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H