[caption caption="gugatan PSCN terhadap YKSW dan Pemptov DKI"][/caption]KPK sudah menyebutkan bahwa tidak ada pelanggaran tindak pidana korupsi di kasus Sumber Waras. Walaupun KPK sudah bertemu BPK dan kemudian melakukan press conference bersama, BPK tetap menyebutkan ada penyimpangan dalam pembelian lahan RS Sumber Waras, dan Pemprov DKI tetap berkewajiban menindak lanjuti temuan BPK tersebut sesuai amanat UUD'45 pasal 23E ayat 3. Â Didalam laporan tersebut memang ada rekomendasi pengembalian kerugian negara sebesar Rp 191 Milyar (selisih yang dibayar pemprov dengan harga pasar ketika hendak dibeli Ciputra) ke kas negara.
Yang jelas, amanat untuk menindak lanjuti temuan BPK merupakan amanat konstitusi. Melanggar rekomendasi tersebut berarti melanggar konstitusi. Untuk mempermudah pemprov DKI/Ahok mengembalikan duit rakyat ke kas pemprov kembali, mungkin poin-poin ini bisa dilaksanakan:
1. Dalam perjanjian jual beli dengan Kartini Muljadi selaku pemegang kuasa YKSW, disebutkan bahwa lahan yang bersertifikat HGB yang sudah dibeli Pemprov DKI harus memiliki akses ke jl. Kyai Tapa. Sekarang ini akses tersebut tertutup oleh lahan satunya lagi, yang berupa lahan SHM milik Perkumpulan Sosial Candra Naya (PSCN). Dalam rangka memenuhi permintaan pemprov DKI tersebut, KM berupaya berbagai cara agar menguasai lahan SHM milik PSCN tersebut. Seperti diketahui, lahan RSSW terdiri dari 2 kapling bersisian,satu bersertifikat SHM yang berbatasan dengan Kyai Tapa dengan luas 3,2 Ha milik PSCN, dan satu lagi bersertifikat HGB berbatasan dengan jalan Tomang Utara milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) yang sudah dibeli oleh Pemprov DKI. Kedua lahan ini masih berada dalam 1 NOP, sehingga sama-sama memiliki NJOP 20 jt/m persegi, walaupun secara fisik berbeda.Â
Jadi pemprov DKI membeli lahan yang memang tidak berakses ke jalan Kyai Tapa. Bukan itu saja, membelinya terburu-buru, tetapi hingga kini, satu setengah tahun setelah dibeli tetap belum dipakai, malah masih dipakai oleh YKSW. Sebenarnya, jika mengikuti perjanjian tersebut dan Kartini Muljadi tidak bisa memenuhi perjanjian untuk membuka akses jalan ke Kyai Tapa, seharusnya pemprov bisa melakukan pembatalan pembelian.Â
2. Pada tanggal 3 Juni 2016 pihak Perkumpulan Sosial Candra Naya melakukan gugatan ke PN Jakbar untuk pembatalan pelepasan hak atad lahan Sumber Waras. Gugatan ditujukan kepada YKSW yang diketuai oleh Kartini MUljadi dan sebagai pihak tergugat adalah Pemprov DKI. JIka gugatan ini menang, memang sudah seharusnya terjadi pembatalan pembelian lahan tersebut oleh pemprov DKI, dan Kartini Muljadi harus mengembalikan uang pembelian tersebut ke pemprov DKI. Â Lahan Sumber Waras tersebut lahan yang bersengketa. Tidak selayaknya dijual kepada pihak ketiga. Tetapi karena keserakahan seorang konglomerat, maka lahan tersebut bisa dijual dengan harga mahal.Â
Mengapa disebut dijual dengan harga mahal? Karena NJOP Kedua lahan yang masih bersatu tersebut pada tahun 2013 masihRp 12 jt/m persegi. Kemudian pada tahun 2014 bisa menjadi 20 jtan/m persegi. Dan yang menentukan NJOP bukan Direktorat Pajat (pusat) tetapi Pemprov DKI sendiri, karena kewenangan menentukan NJOP mengalami desentralisasi sejak 1 Januari 2014. Ahok menandatangani aturan soal NJOP pada tanggal 30 Desember 2014 (Pergub 265 tahun 2014), sehari sebelum Pemprov DKI melakukan  pembayaran sebesar Rp 755 Milyar ke RS Sumber Waras pada tanggal 31 Desember 2014 pukul 19.00 WIB.Â
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H