Pagi-pagi si emak yang bantuin dirumah ngeluh. Katanya kalau belanja ke pasar sehari Rp 50 ribu kagak cukup. Ayam seekor harganya Rp 50.000, belum lagi telur, apalagi daging sapi? Nunggu dibagiin kurban kali neng, katanya. Yup kebayang, jangankan si emak, melihat harga daging sapi melambung sekarang ini aja aku mikir mau beli. Kecuali untuk babyku Adra, yang kebutuhan protein dan zat besinya tinggi, daging cincang sapi tetap jadi pilihan.
Perbincangan kami itu sekitar seminggu lalu. Lantas gimana kalau harganya sudah mahal, masih dikenakan pajak pulak? Sebesar 10%? Saya tidak habis pikir, bagaimana pemerintahan sekarang ini menggenjot pajak dari pangan yang menjadi kebutuhan vital rakyat? Salah satu asupan gizi terpenting bagi anak-anak. Padahal konsumsi perkapita untuk daging bagi rakyat Indonesia masih sangat rendah, hanya 2,2 kg/kapita/tahun. Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang mencapai 15 kg/kapita/tahun.
Daging sapi masuk ke dalam 9 kebutuhan pokok di Indonesia. Seharusnya keterjangkauan, ketersediaan, keberlanjutan daging sapi ini di pasar di jaga oleh pemerintah dengan sebaik-baiknya. Percuma tersedia kalau harga tidak terjangkau. Tetapi percuma juga terjangkau tetapi ternyata barangnya tidak ada. Hanya katanya 'murah' tetapi tempat belinya tidak terakses oleh masyarakat.
Yang jelas, status gizi balita Indonesia mengenaskan. Berdasarkan data riskesdas terbaru, 19,6% balita Indonesia kurang gizi. 35% tubuhnya stunting (pendek, salah satu indikasi bermasalah dengan gizi). Stunting dan kurang gizi tentu bisa diatasi jika sumber protein terjangkau bagi rakyat. Bisa ayam, ikan, daging, telur. Sedangkan sumber kecerdasan balita salahsatunya adalah asupan zat besi, dimana sumber terbanyak terdapat di daging sapi.
Jika pemerintah ingin menaikkan pendapatan, mengapa tidak cukai rokok saja yang dinaikkan setinggi-tingginya? Biar daya beli masyarakat bisa teralihkan juga untuk nutrisi keluarganya. Jangan lagi kekebutuhan pokok masyarakat yang dikenai pajak. Namanya saja kebutuhan pokok, berarti vital pemenuhannya bagi masyarakat.
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H