Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama featured

Kenapa Tidak Malu Menaikkan Tarif Tol?

6 November 2015   12:05 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:10 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - Tarif Tol masuk gerbang Cikopo dari Cikarang dan Bandung (Kompas.com/Stanly)

Tarif tol kembali naik per 1 November 2015. Termasuk tarif tol dalam kota yang macetnya gak ketulungan itu. Begitu juga tarif tol JORR, yang setiap hari semakin nyaris tidak bergerak saking padetnya, tarifnya juga ikutan naik. Kok bisa naik terus yak? Kenaikan tarif tol ini harus ditolak, dengan alasan sebagai berikut:

1. Kewajiban membangun infrastruktur jalan itu seharusnya kewajiban pemerintah. Rakyat yang baik sudah membayar pajak kendaraan, di mana seharusnya ada porsi pada pajak tersebut untuk membangun infrastruktur jalan. Okelah jika dana pemerintah terbatas, sehingga tidak mencukupi untuk bangun jalan. Makanya menggandeng investor BUMN ataupun swasta untuk membangun jalan tersebut. Yang dipertanyakan, seberapa besar marjin yang akan diambil oleh BUMN, dan seberapa lama?

Apalagi beberapa ruas tol dibangun sudah sangat lama. Seperti tol Jagorawi, yang dibangun tahun 1978, berarti 37 tahun lalu. Apakah pantas masih naik terus tarifnya? Kenderaan di Jagorawi sudah sangat padat. Berdasarkan data website Jasa Marga, pada tahun 2013 saja rata-rata per hari lebih dari 500.000-an kendaraan. Sebulan mencapai 16 juta kendaraan. Jika dihitung tarif tolnya Rp 8.000,00 (sebelum naik), maka cashflow harian PT. JM mencapai Rp 4,3 miliar atau Rp 128 miliar per bulan atau Rp 1,536 triliun per tahun.

Jika alasannya untuk subsidi silang membangun infrastruktur jalan di daerah lain, apakah adil? Jadi pengguna jalan tol bukan saja membayar marjin bagi perusahaan, tetapi juga ikut 'menanam modal' membangun di tempat lain? Aneh, ketika pemerintah mengambil untung sebesar-besarnya dari rakyatnya sendiri, yang melalui jalan tol juga karena alternatif kendaraan umum sangat terbatas di negara ini.

2. Alasan kedua adalah, pemerintah melalui Peraturan Menteri PU no.16/PRT/M/2014 mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol sudah menyebutkan kewajiban operator jalan tol untuk menerapkan SPM. SPM itu mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan, lingkungan, dan tempat istirahat.

Pada lampiran Permen PU ini, terdapat acuan SPM-nya. Misalnya untuk kecepatan tempuh rata-rata, maka bagi tol dalam kota adalah 40 km/jam. Padahal, berdasarkan aplikasi sosial Waze, kecepatan rata-rata di Jakarta 'hanya' 19 km/jam. Jadi, melanggar aturan SPM yang dibuat pemerintah donk, ketika kondisi jalan tol tidak sesuai dengan SPM-nya. Apakah masih keukeuh menaikkan tarif tol?

Begitu juga dengan aspek keselamatan. Sering sekali saya melewati tol dan lihat kecelakaan. Ngeri kecelakaannya, karena mobil sampai ringsek banget. Apakah tidak ada pencegahan yang memadai agar tidak terjadi kecelakaan? Misalnya polisi yang stand by di beberapa titik rawan, sehingga kecelakaan bisa dicegah?

Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun