Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money

BPJS Haram vs Ide Jaminan Sosial dari Dana Haji & ZIS?

29 Juli 2015   15:07 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:17 6948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja di linkkan teman mengenai fatwa MUI yang menyebutkan bahwa BPJS Haram. Alasan MUI karena dalam transaksinya menggunakan bunga alias riba. Dan secara khusus, riba atau bunga itu terlihat ketika ada denda bunga 2%/bulan untuk keterlambatan pembayaran iuran.

Apakah pemerintah perlu mengikuti saran MUI ini? Karena toh Indonesia bukan negara yang berlandaskan syariah. Tetapi jika pemerintah memiliki alasan yang lebih logis, misalnya, apakah memang setinggi itu denda yang dibebankan kepada pekerja/pemberi kerja ketika terlambat dalam membayar iuran, mungkin hal tersebut bisa dipertimbangkan. Jadi sama dengan perbankan toh, ada yang konvensional pake bunga. Ini haram juga kali ya menurut MUI, tetapi kan tetap eksis. Bagi yang keukeuh itu haram, ya mungkin pilihannya tidak memakai sistem perbankan sama sekali, atau memakai perbankan syariah, yang juga banyak pilihannya.

Nah sebenarnya yang menggelitik bagi saya bukan soal intervensi MUI memberikan fatwa dalam suatu sistem kebijakan nasional masalah jaminan sosial, melainkan mengapa MUI tidak membuat/ memfasilitasi dengan otoritas terkait,  sistem jaminan sosial tandingan yang bisa bermashlahat bagi umat? Kebetulan saya baru melihat tayangan di Bloomberg Indonesia mengenai Tabungan Haji di Malaysia.

Tabungan Haji ini awalnya adalah tabungan khusus bagi masyarakat yang hendak berhaji. Kemudian dikelola secara profesional, mereka mendapatkan bagi hasil yang sangat baik (jauh lebih tinggi dari bunga bank konvensional). Dan yang lebih penting, pengelolaan tabungan haji tersebut bukan saja dibuat untuk membangun fasilitas haji jamaah malaysia, tetapi juga untuk membangun infrastruktur! Saya dengar wawancara jurnalis Bloomberg tersebut dengan CEO pengelolanya, salah satu infrastruktur yang dibangun adalah jaringan kereta api express di Malaysia.

Penduduk Malaysia hanya sekitar 30 juta jiwa, dengan muslim sekitar 65% atau sekitar 19,5 juta jiwa saja. Bandingkan dengan penduduk muslim di Indonesia yang sekitar 200 jutaan orang. Muslim yang hendak haji antri hingga 17 tahun, tetapi untuk mendapatkan antrian kursi harus memberikan uang muka Rp 25 juta. Bayangkan akumulasi dana haji. Sampai November 2013, setoran awal haji mencapai Rp 58 Trilyun, Dana Abadi Umat (DAU) mencapai Rp 2,4 T. Tahun 2018 diperkirakan setoran awal haji mencapai Rp 100 T, DAU mencapai Rp 3,1 T (sumber Kemenag 2013, dikutip Republika). Sampai sekarang, sebagai orang yang pernah Haji reguler tahun lalu, saya tidak tahu, dana haji itu untuk apa saja?

Jika melihat animo masyarakat yang hendak berhaji, tidak bisa dibatasi hanya 220.000 perorang x Rp 25 juta pertahun yang dihitung sebagai setoran awal. Jumlah itu bisa jadi jauh lebih tinggi, karena waktu tunggu yang semakin lama itu. MUI seharusnya fokus terhadap pengelolaan dana tersebut untuk sebesar-besar kepentingan umat. Kawal dana tersebut, jangan sampai dikorupsi. Bahkan pernah ada kasus DAU dipakai haji gratis para anggota DPR atau pejabat? Duh, bukankah ini khianat yang sangat besar?

Dana sebesar itu bukan hanya bisa untuk membangun fasilitas haji yang sangat baik, sehingga tidak ada lagi kasus jamaah haji terlantar, tetapi juga membangun akses jaminan sosial bagi umat islam, atau bahkan mantan haji yang sudah sepuh atau sakit-sakitan. Toh yang berkontribusi atas dana itu bukankah jamaah haji juga?

Ketika saya pergi berhaji tahun 2014, sungguh saya melihat sendiri banyak jamaah haji yang sebenarnya bukan golongan kaya, tetapi niat berhaji. Ada yang sudah sakit-sakitan, ada yang hasil tabungannya berpuluh tahun atau menjual asset yang berharga. Tidakkah lebih baik dana haji dikelola untuk kesejahteraan para hajiers (kalo yang berhijab, hijabers, kalo haji, hajiers kali ya), ketika sepuh, sakit-sakitan? Ada santunan atau semacam jaminan kesejahteraan seperti dana pensiun, atau kalau wafat ada asuransi kematian bagi keluarganya. Tentu jaminan sosial semacam ini adalah jaminan sosial syariah menurut MUI tersebut.

Selain tabungan haji, adalagi potensi dana yang selama ini terpendam trilyunan rupiah di BAZNAS atau badan zakat nasional. Baznas mengumpulkan ZIS (Zakat Infak Sedekah) bukan saja dari individu, tetapi juga dari swasta, BUMN, dan seterusnya. Saya memiliki informasi yang cukup akurat, bahwa masih teronggok dana trilyunan rupiah di baznas tanpa tersalurkan secara profesional. Nah, mengapa dana ini tidak dikelola menjadi jaminan sosial bagi warga miskin dan tidak mampu? Potensi itu masih lebih besar lagi, karena sebenarnya warga Indonesia banyak yang antuasias membayar zakat.

Yang jelas, dana haji dan ZIS adalah amanah umat yang seharusnya dikelola secara profesional. Manfaatnya juga harus untuk kemashlahatan umat. Mungkin MUI bisa lebih baik lagi jika memang mampu membuat sistem tandingan yang menurut mereka lebih syar'i, dari potensi luarbiasa dana tersebut.

Ya sudah gitu aja, Salam Kompasiana!

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun