[caption id="attachment_419305" align="aligncenter" width="334" caption="Beras di Ritel Modern. Foto by Nurul"][/caption]
Isu beras plastik mengingatkanku pada ucapan bosku dulu. Dia bilangnya, tau gak kamu beras yang paling uenakk sedunia? Itu beras yang baru panen. Ketika ditanak, mesti harum, pulen banget, dan nikmat deh. Apalagi kalau beras itu beras pandan wangi, wuih, wanginya mantap.
Tetapi sekarang, dimana bisa dapet beras yang seger gitu? Apalagi kalau beras impor, perjalanannya bisa bulanan. Belum lagi disimpan digudangnya. Bisa sampe tahunan? Kan isunya mafia beras mainin harga dengan menahan stock di gudang, sehingga beras langka di pasaran, dan harga naik. Begitu harga naik, baru dilepas. Nah sekarang ada yang mainin lagi nih masalah beras. Beras plastik! Ya ampun, semoga pelaku yang merusak dan meracuni bangsa Indonesia ini dihukum seberat-beratnya. Ditelusuri pemainnya sampai importirnya.
Itu jika konsumen membeli dari pasar tradisional. Disisi lain, konsumen juga dapat membeli beras di ritel modern (minimarket, supermarket, hypermarket) yang sudah dikemas. Apakah kualitasnya lebih bagus? Belum tentu! Saya dulu pernah beli beras kemasan di suatu hypermarket, berbau pandan wangi, ternyata baunya hilang ketika dimasak! Berasnya pun jelek sekali. Ampiun dah. Dugaan saya, ini karena pihak ritelnya tidak langsung membeli dari petani. Tetapi melalui 'pemain besar' yang kemudian mengemas beras tersebut untuk kemudian dimasukkan ke ritel modern. Nah ngumpulin beras di gudang 'pemain besar' itu berapa lama?
Pemain besar ini tentu punya modal yang besar pula untuk memasukkan berasnya ke ritel. Sementara petani akan sulit sekali masuk ke ritel modern. Apalagi bagi petani beras organik atau beras premium yang diproduksi tanpa menggunakan pupuk kimiawi ataupun tanpa pestisida, maka andalannya sebenarnya akses ritel modern ini. Sayang, ternyata banyak kendalanya:
1. Sistem pembayaran ritel modern yang tidak 'cash and carry'. Lah petani kan butuh uangnya saat itu juga ketika beras sudah dibeli, uang bisa dibawa pulang. Petani butuh 'cash flow' untuk membeli benih, pupuk dan modal awal lainnya ketika menanam. Itu bedanya dengan tengkulak, bahkan sebelum panen, petani sudah dikasih uang ijon, tetapi sangat murah.
2. Marjin yang amat tinggi untuk pihak ritel. Ini juga yang kadang menyedihkan. Sudahlah duitnya dibayar belakangan, eh deal harganya juga ditentukan oleh pihak ritel. Bisa jadi harga ke konsumennya sangat mahal, tetapi ternyata HPPnya beda tipis dengan serapan Bulog. Padahal berasnya bukan beras biasa, tetapi beras premium
3. Listing fee. Jika ada suplier yang ingin memasukkan produknya ke ritel modern, maka ritel modern menerapkan listing fee, yaitu fee atau biaya yang digunakan agar produk kita bisa didisplay/dipajang di ritel. Alasannya, banyak sekali produk yang antri mau masuk ke ritel tersebut. Semakin gampang terlihat tempat display, semakin mahal fee nya. Nah kalau yang gratisan, dikhawatirkan display productnya ngumpet.
4. Status legal kelompok tani yang hendak memasukkan berasnya ritel modern. Ini juga menjadi kendala, ketika kontrak hendak dibuat oleh kelompok tani dengan pihak ritel modern, mereka menginginkan kelompok ini memiliki status legal.
5. Ketersediaan yang sama setiap waktu. Padahal petani bisa mensuplai hanya pada waktu-waktu panen saja. Jika tidak musim panen, tentu sulit ketersediaan produknya. Kecuali bisa disubstitusi dengan beras merah, beras hitam, dan sebagainya. Begitu juga dengan standar yang diinginkan oleh ritel. Kadang petani melihatnya terlalu ribet.
Untuk itu perlu adanya penerapan Bisnis Inklusi di Ritel Modern. Bisnis Inklusi adalah bisnis berkelanjutan yang memberikan manfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Christina Gradi dan Claudia Knobloch). Ini bukan CSR, tetapi didalam proses bisnis pelaku usaha ini, kelompok marjinal, dhuafa bisa terlibat, baik sebagai produsen/suplairnya, maupun sebagai konsumen.
Penerapan BI ini bukan sekedar kepada UMKM, tetapi khususnya kepada petani. Bukankah ritel juga mengandalkan pangan segarnya? Betapa indahnya jika itu merupakan kerjasama langsung antara ritel dengan petani pemasoknya, yang dilakukan secara fairtrade, perdagangan yang adil dan sama-sama menguntungkan.
Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H