Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pendekar Petani Perempuan; Berjuang untuk Pangan Lokal

10 Maret 2013   08:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:02 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_247905" align="aligncenter" width="614" caption="Bu Siti dan Bu Habibah, 2 diantara Pahlawan Pangan Lokal. Foto by Ilyani"][/caption] Hari ini saya mengikuti acara yang diadakan oleh Aliansi Desa Sejahtera (ADS), bertemakan berbincang dengan female food heroes, alias perempuan pahlawan pangan. Mengapa perempuan? Sekalian dengan tema hari Perempuan Internasional, dan sekaligus mengingat betapa pentingnya peran perempuan dalam ketersediaan pangan lokal. Sayang dari 7 orang pahlawan tersebut, yang 5 sudah keburu pulang. Tinggal 2 orang. Yah gak papalah. Bertemu dengan 2 orang ini juga sudah merupakan pengelaman belajar yangmenginspirasi bagi saya. Tetapi supaya gak kepanjangan, saya menceritakan satu aja dulu deh ya. Seorang perempuan yang tangguh dari pedesaan Manggarai Barat, Flores Nusa Tenggara Timur (NTT). Tetapi sekarang berkiprah di Lembata, NTT. Namanya Bu Siti Rofiah. Tadinya saya heran, kok ibu pahlawan pangan lokal ini kerudungan? Bukannya NTT mayoritas non-muslim? Itulah yang membuat saya sekali lagi memuji, betapa di negeri yang bernama NTT ini ternyata toleransi dijunjung tinggi.

[caption id="attachment_247906" align="aligncenter" width="369" caption="Bu Siti Rofiah dari Lembata,NTT. Foto by Ilyani"]

13629045141424154336
13629045141424154336
[/caption] Ibu Siti Rofiah adalah petani ladang di Manggarai Barat, NTT. Awalnya tahun 1989, ibu Siti Rofiah melihat bahwa hasil pertanian yang berbasis pestisida kimia di sini mulai menunjukkan penurunan produksi. Selain itu, tingkat kesehatan masyarakat pun menurun. Dan petani pun meninggalkan pangan lokalnya berupa sorgum, ubi-ubian beralih ke padi. Tetapi karena hasilnya sedikit, petani mulai menjual sawahnya. Ketika itu Ibu Siti Rofiah mulai menanam sorgum diladangnya sendiri. Sementara di halaman rumah, menanam ubi-ubian, termasuk singkong. Kemudian dia membentuk kelompok tani yang awalnya hanya 10 orang. Karena hasilnya bagus sekali, banyak petani yang juga berminat bergabung.

[caption id="attachment_247907" align="aligncenter" width="461" caption="Singkong, Lezat bergizi tinggi. Foto by Ilyani"]

1362904709170408226
1362904709170408226
[/caption] Selain sorgum, kelompok tani ini juga menanam sayuran organik. Ternyata ada beberapa hotel di wilayah Manggarai ini (yang merupakan daerah wisata) berminat menampung hasil sayur-mayur tersebut. Dengan harga yang bagus, hasil inipun lumayan untuk menambah pendapatan petani. Kelompok tani ini semakin membesar jumlahnya hingga 580 orang. Dan yang muslimnya hanya 15, tetapi kerjasama yang terjalin sungguh indah. Atas upayanya, bu Siti Rofiah mendapat penghargaan dari Bupati Manggarai Barat. Tetapi ternyata penghargaan ini ditolaknya, karena yang dibutuhkan oleh kelompok tani adalah pemberdayaan langsung kepada mereka di lapangan. Selain itu, dia hanya meminta Bupati dan bawahannya bersedia mengkonsumsi pangan lokal, seperti sorghum ini. Dan sekarang di kantor kabupaten, setiap kamis mereka makan pangan lokal asli manggarai barat,  berupa sorgum dan ubi-ubi-an. Kemudian,setelah berhasil di Manggarai Barat, Bu Siti pindah ke Lembata, masih di NTT.  Lembata merupakan daerah yang amat miskin. Disini banyak tinggal janda dan anak-anaknya tidak bersekolah. Karena para suami merantau ke malaysia untuk bekerja di perkebunan. Para janda dan istri yang ditinggal suami inilah yang didekati oleh Bu Siti Rofiah, hingga mereka berhasil membentuk kelompok tani dan kelompok simpan-pinjam. Hingga kini, jumlah anggotanya sebanyak 1000-an orang. Dan mereka juga bertani organik. Selain berladang, di halaman mereka juga menanam umbi-umbian. Jadi bisa dikonsumsi sendiri. Dengan hasil yang terus membaik. Tetapi karena kelompok yang di Lembata ini masih baru, bu Siti berharap memang ada penyuluhan yang lebih baik agar kualitas sumber daya petani disini semakin meningkat. Kalau ditanya,  mengapa bu Siti lebih memilih organik? Jawabanya ternyata sederhana saja, berdasarkan pengalamana lapangan.  Dia menyatakan bahwa lingkaran kemiskinan petani itu salah satunya karena mereka membeli pestisida dan pupuk kimia yang semakin mahal, kadang sampai hutang dengan pembayaran hasil panen. Tetapi kehidupan mereka tidak membaik, malah semakin miskin. Yang semakin kaya perusahaan pestisida dan kimianya. Sementara itu keluarga petani yang terpapar pestisida kimia dan pupuk kimia inipun makin lama makin tidak produktif karena sering sakit. Dan yang penting juga, ternyata tingkat produktivitas lahan pertaniannya pun semakin menurun,tidak membaik dengan sistem kimiawi seperti itu. Mendengar paparan perjuangan Bu Siti Rofiah, semoga tanah indonesia yang subur makmur loh jinawi ini memang bisa dinikmati warganya. Kalau bisa jangan ada lagi TKW informal ke luar negeri. Pendapatan dari petani ini mencukupi dan mempunyaia prospek yang cerah. Tetapi mungkin dibutuhkan ribuan orang seperti BU Siti untuk membuktikan hal tersbeut? Yang sabar, telaten, tanpa pamrih dan benar-benar berjuang di lapangan... Dan untuk kita semua, ingin berkiprah ikut peduli petani? Konsumsi pangan lokal, yak....kalau bisa yang organik.....:) Ya sudah, Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun