Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gejolak Harga vs Subsidi Pertanian Rp 143 T yang 'Tidak Dinikmati' Petani?

14 Maret 2013   14:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:46 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_249388" align="aligncenter" width="388" caption="Petani Bawang di Brebes. Foto by Peneliti Undip"][/caption] Mengapa suplai bawang merah dan bawang putih dari petani  lokal tidak memadai? Terutama bawang putih, mengapa harus 90% impor? Jika alasannya karena bawang putih tidak cocok ditanam di negara tropis, cocoknya di tanah subtropis , la itu Malaysia bisa memproduksi  bawang putih. Malah sampai di ekspor ke Indonesia. Pada umumnya masyakarakat perbatasan dengan Malaysia di Kalimantan mengkonsumsi bawang putih impor dari Malaysia. Jadi bukan itu kan alasannya? Kalau yang saya lihat, mengapa pertanian Indonesia tidak bergairah, terkait masalah penyaluran subsidi pertanian dan tata niaga pertanian yang menindas petani. Anggaran subsidi pertanian di APBN 2013 sebesar Rp 143, 45 Trilyun! Sebesar Rp 13, 95 T digunakan untuk subsidi pupuk,dan Rp 129,5 T digunakan untuk subsidi benih. Dan subsidi itu tentu diberikan kepada perusahaan besar yang memproduksi pupuk dan benih secara massal. [caption id="attachment_249390" align="aligncenter" width="206" caption="Nanam Cabe di Halaman untuk Ketahanan Pangan. Foto by Ilyani"]

13632717461119658521
13632717461119658521
[/caption] Nah disinilah masalahnya. Kita tidak pernah tahu HPP pupuk dan benih tersebut. Selain itu, distributor tetap mengambil margin keuntungan yang lumayan. Hingga HET (Harga Eceran Tertinggi) ke petani. Jadi yang makin kaya? Produsen besar, dan distributor pupuk dan benih tersebut. Yang menyedihkan, sering kejadian pupuk langka di pasaran. Selain itu, suatu lembaga (ketika itu aku penelitinya) pernah menguji kualitas pupuk yang terdapat di Indramayu, ternyata pupuk yang dijual tidak mengandung zat-zat yang dibutuhkan pertanian, alias pupuk palsu! Siapa yang mengawasi beredarnua pupuk ini? Sekarang ini sedang bergairah sistem pertanian organik. Petani membuat pupuk organik  sendiri, pestisida nabati sendiri. Benih pun diusahakan sendiri, dengan mengembangkan benih lokal asli suatu daerah. Sementara itu di Kementrian Pertanian (Kementan), ada alokasi Rp 1,1 T untuk subsidi pupuk organik. Alih-alih memberikan subsidi itu langsung ke kelompok-kelompok tani organik, subsidi itu malah diberikan kepada perusahaan besar yang membuat pupuk organik. Termasuk Rp 450 Milyar ke perusahaan besar pembuat biodekomposer. Padahal petani organik mah gampang banget bikin-bikin semacam ini. Yang dibutuhkan petani sekarang adalah bantuan untuk melakukan sertifikasi produk organik (yang sangat mahal) dan pemasaran produk organik ini. Duh, betapa lebih berarti bila subsidi itu langsung diberikan kepada kelompok-kelompok tani. Mereka akan lebih bergairah untuk bertani. Selain itu, tata niaga produk pertanian memang menindas petani. Ada 'mafia' pengendali harga di pasar. Apakah ini permaianan importir? Yang jelas, saya pernah punya teman yang bersemangat bertani cabe. Hasil  panen sukses besar. Tetapi ketika hendak masuk pasar tidak bisa. Ada orang yang tidak menginginkan produk ini masuk karena khawatir harga jatuh? Jadi ada semacam 'mafia' atau 'kartel' pengendali harga? Jadi, sebelum buru-buru memutuskan impor, sebaiknya pemerintah, terutama kementrian pertanian serius mengembangkan kedaulatan pangan tersebut. Salah satunya mengenai alokasi subsidi pupuk dan benih tersebut, yang memang rawan penyelewengan. Berikan langsung kepada petani! Mengenai kondisi petani di Brebes, dapat dilihat disini. Ya sudah, Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun