[caption id="attachment_316313" align="aligncenter" width="702" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Sebenarnya secara sadar gak sadar, kehidupan kita sebagai wong kawulo sangat ditentukan oleh produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah, terutama eksekutif dan legislatif. Tiba-tiba banjir, misalnya, mesti mikir deh ke hulu, apa aturan main dalam mengatur DAS atau daerah aliran sungai? Apa produk hukum yang membabat hutan sembarangan untuk dijadikan lahan tambang, atau kebun kelapa sawit? Dstnya. Produk hukum itu kan dibuat oleh pemerintah, dengan persetujuan DPR. Ada juga yang murni inisiatif DPR. Nah yang sangat disayangkan, kinerja anggota DPR mengenai produk hukum ini sangat minim. Jangankan kualitas, target kuantitas sangat jauh dari kata terpenuhi. Tahun 2013 rancangan UU (RUU) yang masuk prolegnas ada 70, tetapi yang digolkan hanya 7. Jadi, hanya 10%! Padahal target 70 itu dibuat oleh DPR sendiri. Itu belum termasuk 'hutang' RUU tahun-tahun sebelumnya yang sudah menumpuk di Baleg, tetapi belum dibahas. Aduh, ini berarti kemampuan kinerja DPR sangat minim. Kalau sudah begini, Indonesia akan dibawa kemana? Apalagi ketika melihat seorang caleg dari PPP, Angel Lelga, ketika wawancara di Mata Najwa, apa yang hendak dia cari? Maaf, bukan maksud saya menyepelekan. Karena bisa jadi ada orang yang kompeten di dunia lain, tetapi tidak untuk masalah yang menyangkut menjadi 'wakil rakyat' yang seharusnya memeras otak, otot (kerja) bagi rakyatnya. Paling tidak, seorang wakil rakyat itu menurut saya mengetahui peta permasalahan rill masyarakat dimana dia akan dipilih, termasuk kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, dan lingkungannya. Mengetahui dengan akurat dan detil, dengan data yang memadai. Bukan sekilas memandang. Kemudian, memiliki kemampuan mengkonsep sebuah regulasi. Namanya juga legislatif, jadi targetnya tentu keluarnya produk hukum dari lembaga ini, selain fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Memang, DPR dilengkapi oleh staf ahli, tetapi yang membawa paper itu ke ruang sidang ya tetap anggota DPR yang bersangkutan. Kalau dia gak mudeng, ya isi rapat sidang itu entah kemana-mana. Saya pernah ikutan denger (di balkon) di gedung Nusantara rapat sebuah RUU inisiasi DPR. Ampun dah, itu yang namanya rapat semua pake asumsi perasaannya sendiri. Tidak pakai data, tidak pakai acuan. Tetapi cuman andai, jika, dan omong yang muluk-muluk, tetapi kosong. Yang miris, saya pernah disampaikan oleh seseorang dari pemerintahan, ketika mengajukan RUU Standarisasi, masih ada yang nanya, standarisasi itu apaan? Ya Ilahi, perasaan negara lain dah kemana, pasar bebas ASEAN 2015 di depan mata, tetapi anggota dewan yang terhormat masih belum mudeng. Padahal gaji anggota DPR itu 18 kali lipat dibandingkan rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia. No. 4 tertinggi sedunia, totalnya Rp 46.100.000/bulan. Hanya kalah oleh Nigeria yang gaji anggota dewannya 116 kali perkapita penduduk, Kenya 76 kali lipat dan Ghana 30 kali lipat. Tetapi dengan gaji segitu tinggi dibandingkan rakyat yang diwakilinya, kinerja hanya 7 dari target 70 produk hukum atau 10% ? Jadi kerjanya selama ini apa saja? Apakah karena memang tidak mampu? Jadi, untuk tahun 2014 ini bisakah KPU membuat uji kompetensi kepada caleg? Atau siapa otoritas yang bisa membuatnya? Badan Kehormatan Anggota DPR kah? Atau itu dibuat internal partai tetapi dipublikasikan? Sehingga rakyat benar-benar memilih yang terbaik dari yang bagus-bagus? Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H