Salah satu dampak paling terasa dari pelemahan rupiah tentu di sektor produksi tahu-tempe. Maklum, sekitar 70% dari produksi tahu-tempe kita masih menggunakan kedelai impor. Padahal kalau dihitung harga sekarang ini, kedelai lokal berkisar Rp 7200-an, sementara kedelai impor sudah mencapai Rp 7900. Tentu ini perbedaan harga yang lumayan tinggi.
Terus kenapa gak beralih ke lokal? La wong produksinya kagak cukup. Hanya daerah tertentu yang bisa dapat suplai kedelai lokal lumayan, jadi tidak terpengaruh harga kedelai impor. Misalnya pengrajin tahu tempe di Yogya, ternyata memang sudah mencampur kedelainya dengan kedelai lokal. Jadi belum gitu pengaruh ke harga produksinya. Begitu juga di Bali, dimana tahun 2014 lalu, surplus kedelai lokalnya lumayan tinggi, jadi dengan harga yang baik ini, petani kedelai lokal tentu bersuka cita.
Yang bermasalah adalah tahu sumedang. Siapa yang gak tau tahu sumedang. Terkenal banget nih tahu. Sayang, walaupun rakyatnya sangat bergantung pada produksi tahu gini, ternyata ketergantungan terhadap impornya tinggi banget. Padahal tahun 1988-1993, dibawah Bupati Soetarjo, Sumedang pernah mencapai swasembada kedelai. Ketika itu Bupatinya peduli banget terhadap kebutuhan petani kedelai, diantaranya terhadap masalah benih kedelai dan irigasi. Karena memang punya visi Sumedang sebagai kota tahu. Beda dengan bupati sekarang, yang dinilai belum sungguh-sungguh fokus dalam pengembangan produksi kedelai lokal di Sumedang.
Pemerintah pusat memang menargetkan swasembada kedelai dalam waktu 3 tahun. Tetapi jika tidak sungguh-sungguh dimantengin, serius dari sisi hulu hingga paska panen, khawatirnya ini hanya wacana saja. Wacana yang terus menerus bergulir disaat pengrajin tahu tempe berteriak ditengah mahalnya harga kedelai impor. Beberapa tahun lalu, sampe demo tuh, asosiasi pengrajin tahu-tempenya. Tumben tahun ini belum.
Kemudian, paradigma mengenai kualitas kedelai lokal juga parah banget nih. Sebuah stasiun tv menayangkan bagaimana kedelai impor seolah lebih bagus. Padahal, menurut seorang ahli kedelai dan bahkan ketua Gakoptindo (Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia), Aip Syarifudin,kedelai lokal Indonesia itu kualitasnya bagus sekali. Karena kulitnya lebih tipis, lebih harum dan lebih legit. Bahkan kalau dimasak lebih cepat matang, jadi ongkos produksi bisa lebih irit. Cuman ya gitu deh, jumlah produksinya yang belum memadai.
Apalagi kalau ada yang bilang, kedelai itu gak cocok tumbuh di Indonesia. La wong kita pernah swasembada kedelai di tahun 1980-an kok. Yang membuat produksi kedelai Indonesia kolaps karena ketika itu, produsen kedelai terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) menjual kedelainya dengan skema impor yang sangat menguntungkan importir. Gak perlu bayar cash dimuka, dan harganya juga bisa sangat murah, karena Indonesia tidak punya barrier kualitas. Berbeda dengan Uni Eropa, Jepang atau China misalnya, yang meminta kedelai tanpa rekayasa genetika. Jadi kedelai yang ditolak dimana-mana ini bisa jadi masuk ke Indonesia yang tidak memiliki sistem pengecekan di pintu masuk impornya.
Semoga Indonesia bisa swasembada kedelai lagi, sehingga makanan khas yang tinggi protein ini, tahu tempe bisa beneran menjadi kebanggaan Indonesia.
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H