Heran, bagaimana soal nasionalis dikaitkan dengan merokok di tulisan yang HL ini. Ini adalah pola pikir sesat yang hendak diungkapkan oleh sang penulis. Tanpa data yang jelas, penulis hanya melihat sisi permasalahan ekonomi petani tembakau dan rokok di Indonesia.
Itupun bias. Karena bagaimana bisa disebut nasionalis jika bahkan untuk memenuhi kebutuhan tembakau saja industri rokok masih mengimpor tembakau dari China sebesar 35%? Bagi industri rokok, bisnis tetaplah bisnis.
Dan keliru kalau menyebut Philip Morris (PM) dan British American Tobacco mengakuisisi perusahaan lokal Indonesia karena pengaruh asing. Itu semata mata bisnis, karena kedua perusaan itu dibeli dengan harga yang mahal dan PM maupun BAT melihat potensi pasar yang luar biasa di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dengan besarnya keuntungan yang didapat dari Sampoerna nya Philip Morris yang mencapai Rp 1,7 T pada tahun 2011. PM menguasai 31,1 % pangsa rokok di Indonesia.
Asal diketahui saja, perkembangan itu tanpa penerapan regulasi soal nikotin, karena di level bawah, tetap berkembang industri industri rumah tangga yang memproduksi rokok bernikotin tinggi.
Dan siapakah perokok yang menjadi sumber keuntungan industri rokok?
Yang jelas, 60% penduduk miskin Indonesia adalah perokok. Dan bagi rumah tangga miskin tersebut, pengeluaran rumah tangga kedua setelah beras adalah rokok, lebih tinggi dari pengeluaran untuk telur, apalagi ikan dan lauk pauk lainnya. Dan lebih tinggi dari pengeluaran untuk sekolah (sumber: data BPS).
Banyak kasus, seorang bapak mengeluarkan biaya untuk rokok sebesar Rp 300 ribu per-bulan, tetapi enggan mengeluarkan biaya SPP anaknya sebesar Rp 20 ribu per bulan. Jadilah si anak tidak bersekolah. Inikah disebut nasionalis? Mengutamakan merokok daripada kebutuhan gizi keluarga dan sekolah anak?
Sementara mengenai petani tembakau, sebenarnya memang tidak perlu dikhawatirkan. Karena kebutuhan industri rokok masih tetap tinggi. Yang memprihatinkan dari petani tembakau ini bukan karena soal kampanye anti rokok, melainkan cuaca, hama yang tidak bisa diprediksi, hingga kompetisis dengan kualitas tembakau yang lebih murah dan baik dari China.
Bisnis tetap bisnis bagi industri rokok. Bahkan ketika tembakau petani kualitasnya kurang baik, tembakau ini ditolak oleh industri rokok, yang menyebabkan ribuan petani demo ke industri rokok.
Jadi, apanya yang nasionalis? Bisnis tetaplah bisnis bagi orang seperti ini. Sasarannya bagaimana rokok laku setinggi tingginya dengan pemasaran yang sangat gencar. Saat ini konsumsi rokok mencapai 268,4 milyar batang. Jika dikalikan saja dengan Rp 500, maka uang yang dibakar selama setahun ini mencapai Rp 134,2 Trilyun, dengan jejak berupa spot spot nikotin di pembuluh darah, paru paru maupun batang otak manusia yang menkonsumsinya.
Dan soal ekonomi keluarga yang hancur lebur karena seorang Bapak meninggal karena rokok, sudah saya alami secara pribadi. Mertua saya meninggal usia muda, 55 tahun, karena beliau adalah perokok akut. Kena stroke, dan sakit selama lebih dari 3 tahun di tempat tidur. Kamilah yang merawatnya. Nikotin telah menyumbat pembuluh darah di batang otaknya yang utama. Dan karena sang istri hanya seorang ibu rumah tangga, secara ekonomi keluarga ini memang guncang. Betapa aku masih ingat masa masa itu.
Jadi ketika membaca tulisan itu, rasanya yah, perih aja...kok bisa bisanya nasionalis dihubung hubungkan dengan merokok.
Ya Sudah gitu aja, Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H