[caption id="attachment_101659" align="aligncenter" width="269" caption="kreasi pelajar SMP di Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Foto by Andang"][/caption] Di Indonesia, orang no.1 terkaya berasal dari industri rokok, yaitu Budi Hartono, pemilik perusahaan Djarum. Begitu juga dengan orang terkaya no.2, masih ditempati oleh saudaranya, yaitu Michael Hartono, juga pemilik Djarum (sumber: Kompas.com, mengutip Forbes). Aburizal Bakrie, lewat sama dia. Selain itu, pemilik pengusaha rokok yang juga berkibar sebagai orang terkaya adalah Putra Sampoerna dan Susilo Wonowidjojo pemilik Gudang Garam (Globe Asia menyebut sebagai no.6 dan no.14). Nah, siapa konsumen yang telah menyumbangkan kekayaan terbesar bagi industri rokok tersebut? Ternyata masyarakat miskin. Karena 60% masyarakat miskin Indonesia mengeluarkan biaya untuk rokok, sementara 40% yang termiskin juga mengeluarkan biaya untuk rokok. Bagi masyarakat miskin, pengeluaran no.2 setelah beras adalah rokok (sumber: Susenas BPS). Pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok 5 kali lebih besar daripada untuk susu dan telur dan 4 kali lebih besar dibandingkan biaya pendidikan. Makanya, keluarga miskin sulit untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, karena biaya yang terbatas pun digunakan untuk rokok, bukan untuk nutrisi dan pendidikan bagi anaknya. Kemudian, berapa duit yang dibakar per tahun untuk rokok? Dari hitung-hitungan jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang merokok (34% dari 163 jt) x jumlah konsumsi rata-rata rokok (11,38 batang/hari) x harga rokok per batang (asumsi Rp 400), maka pengeluaran setahun adalah Rp 92 trilyun! (sumber: Lembaga Demografi UI). Biaya ini bisa untuk investasi kesehatan dan pendidikan bagi penduduk miskin. Di Indonesia, konsumsi rokok memang sangat bebas, tanpa pengendalian. Balita pun boleh merokok. Karena memang tidak ada batasan usia. Rokok bisa dibeli dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Padahal, di luar negeri, batas usia merokok adalah 18 tahun. Belum lagi iklan di media televisi, yang sangat paradoks. Indonesia adalah satu diantara 2 negara di dunia yang membolehkan iklan rokok di tv. Bersama Zimbabwe. Ya itulah kelas kita. Dan data biaya kesehatan akibat rokok juga sangat tinggi. Mencapai Rp 180 trilyun (sumber: IAKMI). Jadi, betapa besar biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat terkena jantung, kanker (utamanya paru-paru), stroke, cacat, dstnya akibat rokok tersebut. Untuk itu, seharusnya pemerintah memang membuat regulasi yang pro-kesehatan masyarakat. Instrumen yang diharapkan dapat mengendalikan konsumsi rokok adalah: peningkatan cukai rokok (berarti harga rokok naik), penerapan kawasan tanpa rokok (untuk melindungi perokok pasif), pelarangan iklan rokok di media elektronik , memasang gambar penyakit akibat rokok (seperti rokok indonesia di singapura) di kemasan rokok, serta melindungi anak-anak dari mengkonsumsi rokok.
[caption id="attachment_101943" align="aligncenter" width="475" caption="pawai HTTS di Bundaran HI. Foto by Andang"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H