Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Benarkah MUI Melakukan Jual-beli Sertifikasi Halal?

24 Februari 2014   21:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 2636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324429" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Sekarang ini Tempo sedang mengangkat kasus mengenai Jual Beli Sertifikasi Halal MUI-nya Indonesia di Australia. Disinyalir, biaya sertifikasi ini mahal sekali, termasuk biaya untuk mendatangkan auditor ke lokasi.

Kebetulan pula, hari Jumat lalu, saya juga ke Tempo TV untuk diskusi mengenai isu ini. Ada narasumber dari MUI, dan yang datang langsung adalah ketua MUI, yaitu Pak Amidhan.  Tentu saja,  Pak Amidhan membantah isu ini dengan menyatakan bahwa berita itu tidak benar, bahwa itu adalah kesalahan/kelemahan pengawasan, dan MUI bisa jadi memang lemah dalam hal ini.

Tetapi di luar bantahan beliau mengenai masalah ini, otoritas MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi Halal perlu dikritisi. Dan kelemahan ini pula yang akan membuat sistem di MUI banyak 'bolong'nya, sangat besarnya 'peluang korupsi', termasuk isu jual-beli sertifikasi itu.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Menuju Harmonisasi Standar Halal ASEAN. Peran MUI?"]

1393225707405482431
1393225707405482431
[/caption]

Kelemahan tersebut adalah:

1. Sandaran legal penunjukan MUI sebagai lembaga otoritas yang mengeluarkan sertifikasi Halal itu tidak ada. MUI itu ormas, bukan lembaga negara. DI UU Pangan No. 18 tahun 2012 Pasal 95, hanya disebutkan bahwa lembaga penjaminan Halal itu dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah.

Hingga kini, sandaran legal yang diharapkan itu adalah RUU Penjaminan Halal. Sayang, di RUU ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara Kementerian Agama dan MUI masalah sertifikasi Halal ini.

Dan yang parahnya, sertifikasi Halal dari negara lain tidak diakui oleh MUI sini. Mengapa? Jadi walau sudah disebut Halal misalnya di Malaysia atau Thailand, masuk ke Indonesia tetap harus bayar lagi untuk sertifikasi Halal? Bayangkan, berapa banyak arus produk pangan impor yang masuk ke Indonesia tersebut harus melalui MUI.

Ini membuat biaya dua kali lipat. Ketika saya tanyakan ke Pak Amidhan, mengapa tidak diakui? Beliau menjawab karena tafsirnya beda. Tetapi kan yang menafsirkan ulama juga? Ampun dah, bikin tidak efisien. Atau ini akal-akalan memang supaya bayar lagi?

Kemudian, karena bukan lembaga negara, apakah BPK atau KPK bisa melakukan audit terhadap pengelolaan sertifikasi ini? Bagaimana cara mempertanggungjawabkannya kepada publik?

2. MUI sebagai lembaga pemberi sertifikasi belum terakreditasi. Jika lembaga mengeluarkan sertifikasi, maka harus memiliki auditor, laboratorium yang juga sudah kompeten atau terakreditasi

Semua sistem akreditasi dan standardisasi di Indonesia seharusnya ada di bawah payung BSN atau Badan Standarisasi Nasional, sementara lembaga pengeluar sertifikasinya di bawah payung KAN atau Komite Akreditasi Nasional. Sistem yang terpadu oleh lembaga negara ini pula yang membuat Indonesia bisa membuat harmonisasi standar dengan sesama negara ASEAN atau secara global, sehingga tidak perlu ada kasus di mana Halal di negara A tidak diakui oleh negara B.

Kalau di Thailand, otoritas standar Halal ada di Food Safety and Standarization, di bawah Kementerian Pertanian. Sementara guideline Halalnya sehingga menjadi Standar Halal itu di-approved atau 'difatwakan' oleh Lembaga Urusan Agama Islam Thailand. Jadi otoritas lembaga negara yang melakukan sertifikasi berdasarkan panduan tersebut.

Sekarang dengan sistem ini, Thailand melejit sebagai negara pengekspor pangan Halal terbesar ke-3 di dunia. Indonesia yang muslim terbesar di dunia dan negara kaya pangan ini malah kalah jauh, karena sistem Halalnya amburadul.

3. MUI tidak memiliki sistem pengawasan Sertifikasi Halal

MUI membuat sendiri pengawasannya, tetap tanpa standar yang jelas. Misalnya, jika ingin sertifikasi, MUI minta dibiayai berkunjung ke negara asal, tetapi berapa orang yang datang, siapa sajakah yang wajib datang, berapa biayanya, itu tidak ada standarnya. Apakah perlu datang jika di sana sudah ada lembaga yang melakukan sertifikasi Halal? Jadi hanya perlu harmonisasi standar? Sekali lagi, standar prosedurnya tidak jelas.

Kemudian apakah biaya masuk ke kas MUI atau pribadi, siapakah yang mengontrol? Nah, seharusnya kan sertifikasi seperti ini bisa masuk sebagai pendapatan negara, dan bisa dialokasikan untuk membantu UMKM melakukan sertifikasi yang mendasar saja, misalnya soal hyginietas, sebelum masuk ke Halal.

Jadi, karena sistemnya di MUI ini memang masih lemah banget, tidak ada pertanggungjawaban publik, mekanisme belum transparan, sangat mungkin terjadi penyalahgunaan wewenang pengurusan sertifikasi 'Halal' tersebut. Termasuk jual-belinya.

Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana.

Lanjutan: Mengenai RUU Penjaminan Halal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun